Apa Pendidikan Karakter itu?
Dalam era globalisasi sat ini sring kita mendengar
istilah pendidikan yang berkarakter, namun cendrung orang-orang berpikir bahwa
karter itu tidak bisa dirubah, karakter dalam pandangan mereka diibaratkan
sebagi suatu unsur yang tidak dapat dirubah ataupun di musnahkan, nah untuk
lebih jelas mari sejenak kita renungkan apa dan bagimana sebenarnya karakter
itu, Pengertian karakter menurut Pusat
Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter
adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut
Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai
dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan
atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku
jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang
perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter
mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai
dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis,
analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta
ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur,
menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut,
setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir
positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat,
dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian
diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka,
tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik
atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif
sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu
yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang
yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME,
dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan
kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Dengan adanya konsep inilah maka dibutuhkan adanya pendidikan karakter,
biar bisa merubah sutu sikap yang tidak atau kurang baik menjadi sikap yang
baik.
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan
karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of
school life to foster optimal character development”. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai
sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan
pendidikan harus berkarakter.
Menurut
David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai
sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help
people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think
about the kind of character we want for our children, it is clear that we want
them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and
then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within”.
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu
membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku
guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru
bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut
T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia
yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik
bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan
karakter berpijak dari karakter dasar
manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang
bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule.
Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari
nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai
karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam
dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli,
dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah,
keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan
cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri
dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung
jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan
punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak
kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi
nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut
atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah
itu sendiri.
Dewasa
ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan
pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut
didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan
remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus
dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala
tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian
peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan
karakter.
Para
pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan
pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada
perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan
modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar
menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan
di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif,
pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian
yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui
penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan
grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan
sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari
seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik)
dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan
masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan
dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Dari diagramatik diatas jelas bahwa untuk mendapatkan
kecerdasan maka kita harus menggunakan otk untu berpikir, di otak ini lah orang
bisa dikatakan cerdas atau tidak, maka akan muncul dalam ranah kognitifnya. Sedangkan
untuk sikap atau psikomotor seseorang di tentukan didalam hatinya sehingga
sering qta dengar istilah dalamnya lautan mash bisa diukur tapi dalamnya hati
tidak bisa dikur, orang bisa saja berbuat A tapi dalam hatinya B, maka untuk
menciptakan suatu karkter yang positif
dalam maka kita harus jujur dan bertanggung jawab dengan menuruti kata hati. Untuk
menujakn sikap dan kecerdasan maka dibutuhkan satu ferforma atau penampilan
untuk lebih meyakinkan nbahwa orang tersebut cerdas, jujur dan bertanggung
jawab, namun disinilah perannya paradigma seseorang, (termasuk q sendiri gak
terlalu perhatikan ferforma tersebut), ferforma yang bersih, sehat dan menarik
itu tergantung bagaimana qta menjaga tubuh dengan berolah raga, nah yang terakhir
bagaiman sikap peduli dan kreatif seseorang tergantung dari rasa dan karsa
individu, namun semuanya dapat dirubah dari pendidikan karakter ini.
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang
pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori
yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan
pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai,
pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda
dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai
teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan
afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur
moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku,
kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan
upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu
peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Bagaimana Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas ?
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut qta harus banyak mengacu pada pengalamn, penglihatan,
perisriwa, informasi dan teori-teori terdahulu, dalam tataran teori,
pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di
Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam
penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah
program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya harus
ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian
jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana
dengan pendidikan karakter?
Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter
maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya,
jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang
untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian
yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang
ataupun mengantarnya ke tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar
terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa
alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan
indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas
selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang
di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku
yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama, tidak
ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan
dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk
mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar
lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu
upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi
mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang
harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan
reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom
(kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller
(manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun
1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience
of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition
inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter
tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam
persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang
mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya
pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal
ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan
insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti
yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character
that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan
akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk
merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup
dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran
di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah
dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin.
Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang
berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata
yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam
keseharian kegiatan di sekolah.
Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya
yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak
keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena
itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan
jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga
stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan
masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama
antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan
keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan
pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan
yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang
memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya
pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi
terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat
mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk
pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan
dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang
masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas
pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin mewujudkan pendidikan karakter yang
berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur yang benar
sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen
penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan
karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Ingat,
Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan
semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika,
estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah
informasi tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen
sekolah.
PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM
A. Pengertian
dan Ciri-Ciri Sistem
Sistem merupakan istilah yang memiliki makna
sangat luas dan dapat digunakan sebagai sebutan yang melekat pada sesuatu.
Suatu perkumpulan atau organisasi adalah sebagai sistem, yang kemudian orang
menyebutnya dengan istilah sistem
organisasi. Pendidikan sebagai sebuah sistem, yang kemudian orang
menyebutnya dengan istilah sistem
pendidikan. Begitu seterusya, bahwa setiap, jenis organisasi, apapun
bentuknya, Ia disebut sistem.
Sistem menurut para tokoh diantaranya
Bela H. Banathy dalam bukunya Instructional System mengemukakan bahwa sistem
berarti satuan objek yang disatukan oleh suatu interaksi atau saling
ketergantungan. Menurut Suhardjo sistem adalah kesatuan fungsional daripada
unsur-unsur yang ada untuk mencapai tujuan. Jadi, sistem terdiri dari
unsur-unsur, fungsi dari masing- masing unsur, ada kesatuan fungsi dari setiap
unsur, dan ada tujuan yang ingin dicapai. Setiap organisasi yag ada dalam
kehidupan ini dapat disebut sebagai sistem, walaupun di setiap organisasi
memiliki batasan-batasan yang berbeda. Sama halnya dengan pendidikan juga merupakan
sistem yang memiliki batasan yang berbeda pula. Dibalik perbedaan dari setiap sistem ada persamannya
oleh Mudhoffir dikatakan bahwa persiapan dari setiap sistem terletak pada
ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Tujuan
Tujuan merupakan sesuatu yang akan
dicapai oleh sebuah sistem. Misalnya: manusia sebagai sistem, tujuannya untuk
kebahagiaan didunia dan akherat. Pendidikan sebagai sistem, tujuannya untuk
memberikan layanan bagi yang memerlukan. Pengajaran sebagai sistem tujuannya
agar siswa belajar untuk dapat menampilkan perilaku tertentu., begitu
seterusnya.
2.
Fungsi
Merupakan suatu aktivitas sistem untuk
dapat mencapai tujuan sistem itu sendiri. Misal : manusia mencapai tujuan hidup
dituntut adanya fungsi-fungsi. Apabila salah satu diantaranya tidak menunjukkan
fungsi maka sistem tersebut akan mengalami gangguan, kegagalan, atau tidak
bermanfaat sama sekali.
3. Komponen
Komponen merupakan bagian yang ada dalam
suatu sistem yang melakukan atau memainkan fungsi tertentu dalam rangka mencapai
tujuan sistem. Dalam suatu sistem pasti memiliki tujuan yang akan dicapai
karena sistem sangat erat hubungannya dengan tujuan jika tujuan tidak ada dalam
sistem maka tidak bisa dikatakan sebagai sistem. Untuk mencapai tujuan di dalam
sebuah sistem memiliki komponen-komponen
yang bekerja, berinteraksi, dan memiliki ketergantungan antara yang satu
dengan yang laiinya sehingga menjalankan roda grigi komponen-komponen dalam
suatu sistem. Satu komponen tidak dapat bekerja dengan maksimal maka akan
mempengaruhi komponen yang lain dan akan mempengaruhi sistem untuk mencapai
tujuannya.
Komponen sistem juga merupakan subsistem
dari suatu sistem yang lebih besar atau setiap sistem terdiri dari
sub-subsistem. Namun demikian menurut fungsinya tidak semua komponen sistem
tersebut memiliki hubungan langsung dengan komponen yang lain. Dapat dikatakan
bahwa dalam suatu sistem ada komponen sistem integral dan ada komponen sistem
tidak integral.
Komponen
sistem integral mempunyai keterkaitan fungsi secara langsung sedang komponen sistem tidak integral adalah komponen
sistem yang mempunyai arti bagi subsistem lain. Contoh : sekolahan sebagai
sistem, komponen integralnya adalah guru, siswa, perpustakaan, papan tulis,
kapur, penghapus. Komponen tidak integralnya adalah kipas angin, lampu neon,
dan kantin. Komponen tidak integral ini bila tersedia menambah lancarnya
pencapaian tujuan.
4. Interaksi
atau saling hubungan
Secara fungsional setiap komponen dalam
sistem itu tidak berdiri sendiri tetapi saling mempunyai keterkaitan bahkan
dikatakan saling ketergantungan antara komponen satu dengan yang lain. Apabila
suatu sistem diharapkan dapat mencapai tujuan sistem dengan baik harus ditunjang oleh fungsi yang baik dari tiap
komponen sistem yang ada.
5. Penggabungan
yang Menimbulkan Jalinan Keterpaduan
Dalam rangka mencapai tujuan sistem harus merupakan suatu
kesatuan yang terpadu. Keterpaduan
komponen sistem tersebut akan memperkuat kerja dan fungsi sistem karena
masing-masing komponen merupakan jalinan yang saling menunjang.
6. Proses
Transformasi
Proses transformasi merupakan suatu aktivitas untuk mengubah masukan menjadi
suatu produk. Produk ini akan
tersalurkan menjadi masukan sistem lain, sistem lain ini juga akan dilakukan
proses transformasi, demikian seterusnya.
Setiap sistem terdiri dari sub-subsistem dan setiap subsistem merupakan sistem
tersendiri. Proses transformasi pada suatu sistem bisa terjadi
berrtingkat-tingkat. Suatu sistem tidah hanya melakukan sebuah proses
tranformasi tetapi juga bisa menjadi serangkaian proses transformasi menjadi
sistem-sistem bercabang dari induk sistem.
7. Umpan
Balik
Umpan balik merupakan aktivitas
pemantauan kontrol terhadap efektivitas dan efisiensi kerja sistem.
8. Daerah
batasan dan lingkungan
Suatu sistem akan berinteraksi
berhadapan dengan sistem lain atau lingkungan sistem yang berada di luar
sistem. Karena lingkungan yang ada diluar sistem itu juga merupakan sistem
sendiri, perlu ada ketegasan batasan tentang sistem tertentu. Secara otomatis
akan terdapat macam sistem yang merupakan suatu sistem yang lebih besar yang
disebut “Supra sistem”.
B.
Pendidikan Sebagai Suatu Sistem
Setiap unit
usaha atau organisasi merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai macam
komponen yang saling mendukung daam rangka mencapai tujuan. Secara umum suatu
unit pendidikan dapat digambarkan sebagai berikut.
Raw input,
Instrumental input dan Enviromental input masuk dalam proses pendidikan yang
menghasilkan output. Raw input merupakan bahan mentah/ calon siswa. Instrumental
input merupakan unsur pendukung yang mempengaruhi aktivitas organisasi atau
unit usaha dan dapat dirancang oleh unit usaha tersebut. Dalam pendidikan
adalah unsur sumber daya manusia, sistem administrasi sekolah, kurikulum,
anggaran pendidikan, sarana dan prasarana. Enviromental input merupakan faktor
lingkungan yang mempengaruhi aktivitas suatu organisasi atau unit usaha tetapi
tidak dapat dirancang. Dalam pendidikan adalah pengaruh tv, ekonomi, politik,
sosbud,dll.
C. Sistem
Pendidikan dan Sub sistem Pendidikan dalam Supra Sistem
Pendidikan sebagai suatu sistem
merupakan subsistem dari supra sistem, disamping mempunyai sub-subsistem
pendidikan. Supra sistem (masyarakat) itu terdapat beberapa sistem, misalnya
sistem ekonomi, politik, pendidikan, keamanan,dll.
Tingkatan
Sistem dan Subsistemnya
Tingkat
Keumuman
|
Sistem
|
Sub
Sistem
|
Sub-Subsistem
|
Sub-Sub
Sistem
|
I
|
Pendidikan
Formal
|
Sekolah
Menengah
|
Kurikulum
Sekolah Menengah
|
Kelompok
Mata Pelajaran
|
II
|
Sekolah
Menengah
|
Kurikulum
Sekolah
Menengah
|
Kelompok
Mata Pelajaran
|
Mata
Pelajaran
|
III
|
Kurikulum
Sekolah
Menengah
|
Kelompok
Mata Pelajaran
|
Mata
Pelajaran
|
Pokok
bahasan
|
IV
|
Kelompok
Mata Pelajaran
|
Mata
Pelajaran
|
Pokok
bahasan
|
Sub
Pokok bahasan
|
D. Kesimpulan
Sistem merupakan kesatuan fungsional
yang didalamnya terdapat komponen-komponen yang memiliki fungi masing-masing.
Disetiap komponen tersebut saling berinteraksi, berhubungan, dan saling
ketergantungan antara komponen satu dengan komponen yang lain sehingga dengan
adanya kompnen yang baik dalam suatu sistem dapat mencapai tujuan suatu sistem
yang ingin dicapai. Di dalam kehidupan
terdapat berbagai macam sistem yang beragam di setiap sistem memiliki perbedaan
antara sistem yang satu dengan yang lain. Namun sistem juga memiliki kesamaan
yang terletak pada ciri-ciri sistem yaitu: tujuan, fungsi, komponen, interaksi,
penggabungan,transformasi, umpan balik, dan lingkungan.
Suatu sistem dapat berkembang menjadi
subsistem yang tidak hanya satu namun bisa berkembang menjadi rangkaian sub
sistem yang menginduk pada sistem utama. Hal tersebut dinamakan proses
transformasi sistem dan jika lebih banyak maka disebut serangkaian proses
transformasi sistem.
Sama halnya dengan sistem pendidikan di
indonesia merupakan sub sistem dari supra sistem yang disubut juga dengan
masyarakat. Di dalam sistem pendidikan yang termasuk sub sistem juga memiliki
sub-sub sistem yang saling berhubungan satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar