Selasa, 18 Maret 2014

PENDIDIKAN KARAKTER DAPAT MEMANUSIAKAN MANUSIA



Apa Pendidikan Karakter itu?
Dalam era globalisasi sat ini sring kita mendengar istilah pendidikan yang berkarakter, namun cendrung orang-orang berpikir bahwa karter itu tidak bisa dirubah, karakter dalam pandangan mereka diibaratkan sebagi suatu unsur yang tidak dapat dirubah ataupun di musnahkan, nah untuk lebih jelas mari sejenak kita renungkan apa dan bagimana sebenarnya karakter itu, Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Dengan adanya konsep inilah maka dibutuhkan adanya pendidikan karakter, biar bisa merubah sutu sikap yang tidak atau kurang baik menjadi sikap yang baik.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan  harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian  peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka  tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan  pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian  yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Dari diagramatik diatas jelas bahwa untuk mendapatkan kecerdasan maka kita harus menggunakan otk untu berpikir, di otak ini lah orang bisa dikatakan cerdas atau tidak, maka akan muncul dalam ranah kognitifnya. Sedangkan untuk sikap atau psikomotor seseorang di tentukan didalam hatinya sehingga sering qta dengar istilah dalamnya lautan mash bisa diukur tapi dalamnya hati tidak bisa dikur, orang bisa saja berbuat A tapi dalam hatinya B, maka untuk menciptakan suatu karkter yang positif dalam maka kita harus jujur dan bertanggung jawab dengan menuruti kata hati. Untuk menujakn sikap dan kecerdasan maka dibutuhkan satu ferforma atau penampilan untuk lebih meyakinkan nbahwa orang tersebut cerdas, jujur dan bertanggung jawab, namun disinilah perannya paradigma seseorang, (termasuk q sendiri gak terlalu perhatikan ferforma tersebut), ferforma yang bersih, sehat dan menarik itu tergantung bagaimana qta menjaga tubuh dengan berolah raga, nah yang terakhir bagaiman sikap peduli dan kreatif seseorang tergantung dari rasa dan karsa individu, namun semuanya dapat dirubah dari pendidikan karakter ini.
 Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral.  Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)  mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur  moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni:  perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Bagaimana Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut qta harus banyak mengacu pada pengalamn, penglihatan, perisriwa, informasi dan teori-teori terdahulu, dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter?
Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.
Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.

PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM

A.    Pengertian dan Ciri-Ciri Sistem
Sistem merupakan istilah yang memiliki makna sangat luas dan dapat digunakan sebagai sebutan yang melekat pada sesuatu. Suatu perkumpulan atau organisasi adalah sebagai sistem, yang kemudian orang menyebutnya dengan istilah sistem  organisasi. Pendidikan sebagai sebuah sistem, yang kemudian orang menyebutnya dengan istilah sistem  pendidikan. Begitu seterusya, bahwa setiap, jenis organisasi, apapun bentuknya, Ia disebut sistem.
Sistem menurut para tokoh diantaranya Bela H. Banathy dalam bukunya Instructional System mengemukakan bahwa sistem berarti satuan objek yang disatukan oleh suatu interaksi atau saling ketergantungan. Menurut Suhardjo sistem adalah kesatuan fungsional daripada unsur-unsur yang ada untuk mencapai tujuan. Jadi, sistem terdiri dari unsur-unsur, fungsi dari masing- masing unsur, ada kesatuan fungsi dari setiap unsur, dan ada tujuan yang ingin dicapai. Setiap organisasi yag ada dalam kehidupan ini dapat disebut sebagai sistem, walaupun di setiap organisasi memiliki batasan-batasan yang berbeda. Sama halnya dengan pendidikan juga merupakan sistem yang memiliki batasan yang berbeda pula. Dibalik  perbedaan dari setiap sistem ada persamannya oleh Mudhoffir dikatakan bahwa persiapan dari setiap sistem terletak pada ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Tujuan
Tujuan merupakan sesuatu yang akan dicapai oleh sebuah sistem. Misalnya: manusia sebagai sistem, tujuannya untuk kebahagiaan didunia dan akherat. Pendidikan sebagai sistem, tujuannya untuk memberikan layanan bagi yang memerlukan. Pengajaran sebagai sistem tujuannya agar siswa belajar untuk dapat menampilkan perilaku tertentu., begitu seterusnya.

2. Fungsi
Merupakan suatu aktivitas sistem untuk dapat mencapai tujuan sistem itu sendiri. Misal : manusia mencapai tujuan hidup dituntut adanya fungsi-fungsi. Apabila salah satu diantaranya tidak menunjukkan fungsi maka sistem tersebut akan mengalami gangguan, kegagalan, atau tidak bermanfaat sama sekali.
3.   Komponen
Komponen merupakan bagian yang ada dalam suatu sistem yang melakukan atau memainkan fungsi tertentu dalam rangka mencapai tujuan sistem. Dalam suatu sistem pasti memiliki tujuan yang akan dicapai karena sistem sangat erat hubungannya dengan tujuan jika tujuan tidak ada dalam sistem maka tidak bisa dikatakan sebagai sistem. Untuk mencapai tujuan di dalam sebuah sistem memiliki komponen-komponen  yang bekerja, berinteraksi, dan memiliki ketergantungan antara yang satu dengan yang laiinya sehingga menjalankan roda grigi komponen-komponen dalam suatu sistem. Satu komponen tidak dapat bekerja dengan maksimal maka akan mempengaruhi komponen yang lain dan akan mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuannya.
Komponen sistem juga merupakan subsistem dari suatu sistem yang lebih besar atau setiap sistem terdiri dari sub-subsistem. Namun demikian menurut fungsinya tidak semua komponen sistem tersebut memiliki hubungan langsung dengan komponen yang lain. Dapat dikatakan bahwa dalam suatu sistem ada komponen sistem integral dan ada komponen sistem tidak integral.
Komponen  sistem integral mempunyai keterkaitan fungsi secara langsung sedang  komponen sistem tidak integral adalah komponen sistem yang mempunyai arti bagi subsistem lain. Contoh : sekolahan sebagai sistem, komponen integralnya adalah guru, siswa, perpustakaan, papan tulis, kapur, penghapus. Komponen tidak integralnya adalah kipas angin, lampu neon, dan kantin. Komponen tidak integral ini bila tersedia menambah lancarnya pencapaian tujuan.
4.   Interaksi atau saling hubungan
Secara fungsional setiap komponen dalam sistem itu tidak berdiri sendiri tetapi saling mempunyai keterkaitan bahkan dikatakan saling ketergantungan antara komponen satu dengan yang lain. Apabila suatu sistem diharapkan dapat mencapai tujuan sistem dengan baik harus  ditunjang oleh fungsi yang baik dari tiap komponen sistem yang ada.
5.     Penggabungan yang Menimbulkan Jalinan Keterpaduan
Dalam rangka mencapai  tujuan sistem harus merupakan suatu kesatuan  yang terpadu. Keterpaduan komponen sistem tersebut akan memperkuat kerja dan fungsi sistem karena masing-masing komponen merupakan jalinan yang saling menunjang.
6.   Proses Transformasi
Proses transformasi merupakan suatu  aktivitas untuk mengubah masukan menjadi suatu produk. Produk  ini akan tersalurkan menjadi masukan sistem lain, sistem lain ini juga akan dilakukan proses    transformasi, demikian seterusnya. Setiap sistem terdiri dari sub-subsistem dan setiap subsistem merupakan sistem tersendiri. Proses transformasi pada suatu sistem bisa terjadi berrtingkat-tingkat. Suatu sistem tidah hanya melakukan sebuah proses tranformasi tetapi juga bisa menjadi serangkaian proses transformasi menjadi sistem-sistem bercabang dari induk sistem.
7.  Umpan Balik
Umpan balik merupakan aktivitas pemantauan kontrol terhadap efektivitas dan efisiensi kerja  sistem.
8.   Daerah batasan dan lingkungan
Suatu sistem akan berinteraksi berhadapan dengan sistem lain atau lingkungan sistem yang berada di luar sistem. Karena lingkungan yang ada diluar sistem itu juga merupakan sistem sendiri, perlu ada ketegasan batasan tentang sistem tertentu. Secara otomatis akan terdapat macam sistem yang merupakan suatu sistem yang lebih besar yang disebut “Supra sistem”.
B.     Pendidikan Sebagai Suatu Sistem
Setiap unit usaha atau organisasi merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai macam komponen yang saling mendukung daam rangka mencapai tujuan. Secara umum suatu unit pendidikan dapat digambarkan sebagai berikut.
Raw input, Instrumental input dan Enviromental input masuk dalam proses pendidikan yang menghasilkan output. Raw input merupakan bahan mentah/ calon siswa. Instrumental input merupakan unsur pendukung yang mempengaruhi aktivitas organisasi atau unit usaha dan dapat dirancang oleh unit usaha tersebut. Dalam pendidikan adalah unsur sumber daya manusia, sistem administrasi sekolah, kurikulum, anggaran pendidikan, sarana dan prasarana. Enviromental input merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas suatu organisasi atau unit usaha tetapi tidak dapat dirancang. Dalam pendidikan adalah pengaruh tv, ekonomi, politik, sosbud,dll.
C.  Sistem Pendidikan dan Sub sistem Pendidikan dalam Supra Sistem
Pendidikan sebagai suatu sistem merupakan subsistem dari supra sistem, disamping mempunyai sub-subsistem pendidikan. Supra sistem (masyarakat) itu terdapat beberapa sistem, misalnya sistem ekonomi, politik, pendidikan, keamanan,dll.
Tingkatan Sistem dan Subsistemnya
Tingkat Keumuman
Sistem
Sub Sistem
Sub-Subsistem
Sub-Sub Sistem
I
Pendidikan Formal
Sekolah Menengah
Kurikulum Sekolah Menengah
Kelompok Mata Pelajaran
II
Sekolah Menengah
Kurikulum Sekolah
Menengah
Kelompok Mata Pelajaran
Mata Pelajaran
III
Kurikulum Sekolah
Menengah
Kelompok Mata Pelajaran
Mata Pelajaran
Pokok bahasan
IV
Kelompok Mata Pelajaran
Mata Pelajaran
Pokok bahasan
Sub Pokok bahasan
D.  Kesimpulan
Sistem merupakan kesatuan fungsional yang didalamnya terdapat komponen-komponen yang memiliki fungi masing-masing. Disetiap komponen tersebut saling berinteraksi, berhubungan, dan saling ketergantungan antara komponen satu dengan komponen yang lain sehingga dengan adanya kompnen yang baik dalam suatu sistem dapat mencapai tujuan suatu sistem yang ingin dicapai.  Di dalam kehidupan terdapat berbagai macam sistem yang beragam di setiap sistem memiliki perbedaan antara sistem yang satu dengan yang lain. Namun sistem juga memiliki kesamaan yang terletak pada ciri-ciri sistem yaitu: tujuan, fungsi, komponen, interaksi, penggabungan,transformasi, umpan balik, dan lingkungan.
Suatu sistem dapat berkembang menjadi subsistem yang tidak hanya satu namun bisa berkembang menjadi rangkaian sub sistem yang menginduk pada sistem utama. Hal tersebut dinamakan proses transformasi sistem dan jika lebih banyak maka disebut serangkaian proses transformasi sistem.
Sama halnya dengan sistem pendidikan di indonesia merupakan sub sistem dari supra sistem yang disubut juga dengan masyarakat. Di dalam sistem pendidikan yang termasuk sub sistem juga memiliki sub-sub sistem yang saling berhubungan satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar