EXSOTIS LOMBOK PENUH DENGAN BUBAYA
Lombok merupakan
suatu pulau yang terbilang kecil, namun terdapat beraneka ragam budaya, adat
istiadat bahkan sampai kasta, dalam budaya suku lombok yang terkenal
diantaranya adalah presean, Pesta bau nyale dan kawin lari (merarik). Banyak
hal yang menarik untuk dibicarakan mengenai kehidupan di pulau Lombok,
khususnya mengenai sejarah asal usul masyarakat, kerajaan yang pernah ada,
keyakinan dan agama, hingga objek wisata yang di tawarkan. Sehingga dalam kesempatan
ini saya mencoba mengangkat sebuah tema mengenai beberapa hal yang ada di pulau
Lombok. Berikut penjelasannya:
1. Pendahuluan
Lombok (penduduk pada tahun 1990: 2.403.025) adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih bulat bentuknya dengan semacam “ekor” di sisi barat daya yang panjangnya kurang lebih 70 km. Pulau ini luasnya adalah 4.725 km² (sedikit lebih kecil daripada Bali). Kota utama di pulau ini adalah Kota Mataram.
Lombok (penduduk pada tahun 1990: 2.403.025) adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih bulat bentuknya dengan semacam “ekor” di sisi barat daya yang panjangnya kurang lebih 70 km. Pulau ini luasnya adalah 4.725 km² (sedikit lebih kecil daripada Bali). Kota utama di pulau ini adalah Kota Mataram.
Asal-usul etnis
Sasak di Pulau Lombok dapat dilacak dari kata sasak itu sendiri. Sasak
secara etimologi, menurut Goris S., berasal dari kata sah yang
berarti “pergi” dan shaka yang berarti “leluhur”. Dengan begitu, sasak
berarti “pergi ke tanah leluhur”. Dari etimologi ini diduga leluhur orang Sasak
adalah orang Jawa; ini terbukti pula dari aksara Sasak yang oleh penduduk
Lombok disebut “Jejawan”, yakni aksara Jawa, yang selengkapnya diresepsi oleh
kesusastraan Sasak.
Suku
Sasak adalah kelompok etnik mayoritas di Lombok. Populasi mereka kurang-lebih
90% dari keseluruhan penduduk Lombok. Kelompok-kelompok lain, seperti Bali,
Sumbawa, Jawa, Arab, dan Cina, merupakan kelompok pendatang.
Selain
beragamnya jumlah etnik, Pulau Lombok juga memiliki beragam budaya, bahasa, dan
agama. Masing-masing kelompok berbicara berdasarkan bahasanya sendiri-sendiri.
Orang Sasak, Bugis, dan Arab mayoritas beragama Islam; orang Bali beragama
Hindu; dan orang-orang Cina beragama Kristen.
a. Kehidupan
Spiritual di Lombok Pengaruh
Hindu – Buddha
Ajaran Hindu-Bali
dibawa langsung oleh pemeluknya, para imigran dari Pulau Bali sejak permualaan
abad ke 17 Masehi. Hindu-Bali adalah sinkretisasi ajaran Hindu-Buddha, yang
juga disebut Siwa-Buddha. Menurut Sartono Kartodirjo (1975).
Sebelum imigran dari
Bali datang, pulau yang molek dan subur ini, dinamakan Gumi Selaparang dan di
huni oleh orang Sasak. Sampai abad ke 17, terdapat dua buah kerajaan Sasak
yaitu Kerajaan Pejanggik di Lombok Tengah sebagai kerajaan pedalaman dan
kerajaan Selaparang sebagai kerajaan pesisir yang ibu kotanya di Kayangan,
Labuhan Lombok di Lombok Timur.
Memasuki abad ke 17
(1600an), secara bergelombang imigran dari Karang Asem- Bali datang ke Pulau
Lombok untuk membuka lahan pertanian dan mendirikan pemukiman. Penduduk baru
ini datang, selain karena kerajaanya diganggu oleh kerajaan kerajaan
tetangganya di Bali, juga karena wilayah tofografinya kurang menguntungkan
untuk pertanian, dengan kawasan tanah perbukitan. Pemukiman-pemukiman itu
dikenal dengan nama Sengkongok (di kaki Gunung Pengsong), Pagutan, Pagesangan,
dan Mataram (di Kodya Mataram) dan Tanaq Embet (di Senggigi).
b.
Pengaruh
Budaya Bali
Budaya Merarik ini
sangat kental dipengaruhi oleh budaya Bali, dalam sejarah, suku sasak Lombok
menjadi wilayah dibawah kekuasaan kerajaan Karang Asem yang dirajai oleh Anak
Agung. Kentalnya budaya Bali diakar budaya suku sasak tidak mudah dihapus
begitu saja. Namun tidak semua wilayah di pulau lombok menjadi wilayah
kekuasaan Anak Agung, sehingga semakin ketimur budaya khas yang bernuansa bali
cenderung memudar. Untuk wilayah timur kentalnya budaya Islam cukup kentara,
sebab pengaruh sejarah kedatangan Islam ke pulau lombok melalui dua pintu dari
Timur dan Utara.
c. Pengaruh Islam
Pada awal mula
masuknya agama Islam ke Pulau Lombok, penduduknya banyak yang menganut
Animisme, tapi datangnya salah seorang kiyai dari Jawa yaitu Sunan Prapen maka
beberapa tempat yang menjadi basisnya masih bisa ditemukan sampai sekarang.
Dalam hal penyebaran
agama islam, mula-mula peranan para sufi sangat menentukan disamping para
pedagang yang berasal dari Gujarat, India. Para sufi itu datang dari Pulau Jawa
yang banyak membawa pengaruh dari Wali Songo. Kemudian menyusul dari
ajaran-ajaran tarekat syaikh Yusu Makassar, dll. Dari sumber ajaran Syaikh
Yusuf, ada yang diterima langsung pada saat beliau berada di Banten atau dari
para pengikut pengikutnya di Nusantara. Sedangkan dari syaikh yang lain
diterima langsung di Makkah pada saat para tuan guru dari Lombok, melaksanakan
ibadah haji dan bermukim disana beberapa tahun untuk memperdalam ilmunya.
Para Sufi yang
menyebarkan Islam yang berasal dari pengaruh Wali Songo meninggalkan kelompok
masyarakat yang kemudian disebut Watu/Wektu Telu (Waktu Tiga) untuk
membedakannya dengan yang lain, yang telah mengalami proses Islamisasi, yaitu
Islam Waktu Lima.
Hal yang menarik
dari pemeluk agama Islam di kalangan orang Sasak di Lombok adalah adanya dua
golongan yaitu Islam Watu/Wektu/waktu Telu (Tiga) dan Islam Watu/Wektu/waktu
Lima. Pemeluk Islam Watu/Wektu Telu diabstraksikan sebagai orang-orang
Sasak yang tidak menjalankan ajaran Islam secara utuh sebagaimana diamanatkan
dalam Al-Qur’an dan Hadist. Sedangkan pemeluk Islam Waktu Lima adalah
orang-orang Sasak yang melaksanakan ajaran Islam secara utuh.
Menurut beberapa
sumber disebutkan bahwa ketidakutuhan yang dimaksudkan antara lain: (a) pemeluk
Islam Watu/Wektu/waktu Telu tidak melaksanakan rukun Islam (syahadat,
sembahyang, puasa, zakat, Haji) secara utuh melainkan hanya tiga rukun saja
yakni syahadat, sembahyang dan puasa. Tiga rukun itu pun tidak juga
dilaksanakan secara utuh. Syahadat sebagai sumpah atau komitmen bahwa Allah
adalah satu dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya hanya diucapkan pada saat
upacara perkawinan yakni oleh mempelai laki-laki dengan tuntunan kyai atau
penghulu. Dalam hal sembahyang hanya melaksakan tiga rukun sembahyang yaitu
pada hari Jumat, pada hari Lebaran (Lebaran Haji/Idul Adha) dan Lebaran
Puasa/Idul Fitri), dan pada saat orang meninggal. Sembahyang Jumat pun bukan
sembahyang lima waktu (Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isa) melainkan hanya
tiga waktu saja yakni Ashar, Magrib, dan Isa. Kewajiban sembahyang hanya
dilaksanakan oleh para pemimpin agamanya yaitu Kyai sedangkan pengikutnya hanya
menjalankan perintah dari Kyai. Sebagai imbalan, para pengikutnya memberikan
zakat fitrah dan sedekah kepada para Kyai pada hari-hari tertentu. Jabatan Kyai
ini bersifat turun-temurun. Pengangkatannya dilakukan di Mesjid dengan sebuah
upacara yang dihadiri oleh semua pengikutnya.
Di Sembalun (Lombok
Timur bagian Utara), pengangkatan Kyai baru melalui pentasbihan oleh seorang
pemangku dengan cara menyiramkan air yang diambil dari Danau Segara Anak.
Jumlah Kyai dalam satu desa lebih dari tiga orang, tergantung pada banyaknya
jumlah penduduk. Di antara Kyai-kyai itu, ada seorang Pengulu yang diangkat
berdasarkan kesepakatan bersama. Pengulu itu bertugas memimpin upacara agama
dan upacara adat di mesjid maupun di luar mesjid antara lain: upacara
ngurisang, khitanan, kematian, pertanian, metulak, ngayu-ayu atau neda, dan
lain-lain. Sebagaimana telah disinggung juga di atas, diantara jabatan Pengulu
dan kiyai sebagai pemimpin agama, juga terdapat jabatan Pemangku. Tugas
Pemangku berhubungan dengan pemujaan roh nenek moyang. Di samping itu Pemangku
juga bertugas memelihara tempat-tempat suci, seperti pedewa’ atau kemali’.
Tidak jarang seorang Pemangku juga berprofesi sebagai dukun (bahasa Sasak:
belian).
Dalam hal puasa,
pemeluk Islam Watu/Wektu/waktu Telu tidak melaksakan ibadah puasa selama
sebulan penuh melainkan hanya puasa tiga hari saja yakni pada saat permulaan
bulan puasa, pada saat pertengahan bulan puasa, dan pada penghujung bulan puasa
(Ramadan/Lebaran). Di samping ajaran-ajaran yang bersumber kepada Islam seperti
disebutkan di atas, pemeluk Islam Watu/Wektu/waktu Telu juga menganut
kepercayaan yang bersumber dari pra Islam yaitu pemujaan terhadap roh-roh nenek
moyang. Gunung Rinjani dianggap sebagai gunung yang suci tempat bersemayamnya
para dewa dan roh-roh nenek moyang. Di Gunung Rinjani terdapat sebuah danau
yang disebut danau Segara Anak. Air danau itu diyakini sebagai air yang suci
dan dapat memberi berkah bagi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu
disimpulkan bahwa Agama IslamWatu/ Waktu/waktu Telu di Lombok merupakan
perpaduan antara agama pra Islam, baik animisme/dinamisme, budhisme, maupun
Hinduisme, dengan ajaran Islam sehingga menimbulkan ajaran baru yaitu
Islam Watu/Wektu/waktu Telu yang oleh pemeluk Islam Watu/Wektu/waktu Lima
dikatakan menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya (Tawalinuddin Haris,
1978: 9-10; Monografi NTB, 1977: 80; Erni Budiwanti, 2000: 133-134).
Ketika Raja Lombok
Prabu Mumbul meninggal dunia, ia digantikan oleh Prabu Rangkesari. Di masa
pemerintahan Rangkesari ini, putera Sunan Ratu Giri yang bernama Pangeran
Prapen datang ke Kerajaan Lombok untuk melakukan Islamisasi. Berdasarkan Babad
Lombok, Islamisasi ini merupakan upaya Raden Paku (Sunan Ratu Giri) dari Gresik
untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.
Pangeran Prapen
melakukan Islamisasi di Lombok dengan kekuatan senjata. Setelah orang-orang
Lombok masuk Islam, ia kemudian meneruskan upaya Islamisasi ke Bima dan
Sumbawa. Sepeninggal Pangeran Prapen, masyarakat Lombok kembali ke agama asal,
paganisme. Hal ini disebabkan kaum perempuan Lombok banyak yang belum memeluk
Islam, sehingga berhasil mempengaruhi keluarganya agar kembali ke agama asal.
Setelah berhasil
mendapatkan kemenangan di Sumbawa dan Bima, Pangeran Prapen kembali ke Lombok.
Dengan bantuan Raden Sumuliya dan Raden Salut, Pangeran Prapen kemudian
menyusun gerakan dakwah baru untuk mengislamkan Lombok dan berhasil mencapai
kesuksesan. Seluruh pulau Lombok berhasil diislamkan, kecuali di beberapa
tempat. Masyarakat yang menolak masuk Islam kemudian menyingkir ke
gunung-gunung, atau menjadi orang taklukan.
Selain Islamisasi,
peristiwa besar lainnya yang terjadi di masa pemerintahan Prabu Rangkesari adalah
pemindahan ibukota kerajaan, dari Labuhan ke desa Selaparang. Pemindahan
ibukota ini merupakan inisiatif Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda, dengan
alasan, letak desa Selaparang lebih strategis dan aman dibanding Labuhan.
Dengan berpindahnya Kerajaan Lombok ke Selaparang, maka, kemudian kerajaan ini
juga dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.
Dalam uraian
sebelumnya dikemukakan bahwa, Kerajaan Selaparang terbagi dua periode yaitu (1)
periode Hindu dan, (2) periode Islam. Tampaknya, yang dimaksud dengan periode
kedua Kerajaan Selaparang (periode Islam) adalah Kerajaan Lombok yang
memindahkan ibukota ke Selaparang, sehingga disebut Kerajaan Selaparang.
Kerajaan Lombok atau
Selaparang ini terus berkembang, sehingga Kerajaan Gelgel di Bali merasa
mendapat saingan. Karena itu, Gelgel yang merasa sebagai pewaris kebesaran
Majapahit kemudian menyerang Lombok (Selaparang) pada tahun 1520 M. Namun,
serangan ini berhasil digagalkan oleh Selaparang. Dalam perkembangannya,
Kerajaan Gelgel sendiri kemudian juga mengalami kemunduran.
Berdasarkan
kebiasaan keagamaan mereka, Sasak bisa dibagi ke dalam Waktu Lima dan Watu
Telu. Waktu Lima ditandai dengan ketaatan yang tinggi terhadap
ajaran agama Islam.
Sedangkan
Watu Telu adalah waktu bagi mereka yang tetap memuja roh para leluhur,
berbagai dewa, dan lain-lain dalam lokalitas mereka. Walau pun bagi orang
Sasak yang mengaku sebagai Muslim. Dalam kehidupan sehari-hari mereka, adat
cenderung memerankan peran dominan di kalangan komunitas Wetu Telu; dan
dalam beberapa hal terdapat praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Sebanyak
kurang lebih 28.000 orang Sasak taat pada bentuk sinkretis islam yang
ditunjukan dalam Wetu Telu, yang menggabungkan hindu dan kepercayaan animisme
asli. Masjid Wetu Telu sering dibangun dengan gaya asli dari kayu dan bambu,
serta atap terbuat dari alang-alang atau sirap bambu. Dengan bentuk denah
persegit empat dan atap piramid tumpang yang di sangga dengan empat tiang,
apabila diperhatikan maka akan terlihat mirip dengan masjid lama Ternate dan
Tidore.
Mesjida Suku Sasak
Walau
mereka sangat menyadari bahwa aturan adat tertentu memang bertentangan dengan
ajaran Islam, seperti memberi penghormatan pada leluhur dan roh nenek moyang,
komunitasv Watu Telu memandang bahwa itu semua merupakan bagian dari
tradisi keagamaan mereka. Watu Telu tidak menggariskan suatu batas yang jelas
antara adat dan agama. Karenanya, adat sangat bercampur dengan agama.
Selat Lombok
menandai jalan masuk dari pemisah biogeografis antara fauna di wilayah
Indomalay dan perbedaan fauna yang sangat jelas di Australasia dikenal dengan
Wallace line, diambil dari nama penemunya Alfred Russel Wallace.
Pemetaan pulau
Lombok didominasi oleh stratovolcano Gunung Rinjani, yang mencapai tinggi
3.726m (12.224 kaki), yang membuat Gunung Rinjani menjadi gunung tertinggi
ketiga di Indonesia. Di lembah Gunung Rinjani, Anda akan menemukan hutan hijau
yang rimbun, sawah dan air terjun yang indah.
Pusat keramaian yang
paling berkembang di sebelah barat adalah Senggigi, tersebar 30 kilometer
sepanjang jalan pantai disebelah utara Mataram, Sementara para divers biasanya
berkumpul bersama di Gili, yang berada di pantai barat.
Bagian selatan dari
pulau Lombok adalah tanah yang subur dimana jagung, kopi, tembakau dan kapas
tumbuh. Salah satu tujuan wisata yang populer adalah Kuta, terkenal dengan
pantai yang belum tersentuh dan beberapa orang menganggap pantai ini adalah salah
satu tempat berselancar terbaik di dunia.
Dalam total area
sebesar 4.752km2 (1.825 sq mi) terdapat 2.950.105 orang (2005), 85% adalah suku
Sasak, yang awalnya diperkirakan berpindah dari Jawa pada awal abad sebelum
Masehi. Sejak populasi suku Sasak mempelajari Islam, pemandangan di pulau
Lombok mulai banyak dipenuhi dengan Masjid-masjid dan menaranya, dan di desa
tradisional suku Sasak, Anda bisa menemukan kehidupan pedesaan dengan budayanya
yang unik. Penduduk lain termasuk 10-15% orang Bali, dengan selebihnya adalah
orang Cina, Arab, Jawa dan Sumbawa.
2. Sejarah
awal mula
Sejarah
Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang
terjadi di dalamnya, baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di
Lombok, maupun eksternal, yaitu penguasaan dari kerajaan dari luar Pulau
Lombok. Perkembangan era Hindu dan Buddha memunculkan beberapa kerajaan seperti
Selaparang dan Bayan. Kerajaan-kerajaan tersebut ditundukkan oleh penguasaan
Kerajaan Majapahit dari ekspedisi Gajah Mada pada abad XIII – XIV dan
penguasaan Kerajaan Gel-Gel dari Bali pada abad VI.
Antara
Jawa, Bali, dan Lombok memunyai beberapa kesamaan budaya, seperti dalam hal
bahasa dan tulisan, yang jika ditelusuri asal-usulnya banyak berakar dari Hindu
Jawa. Hal ini tidak lepas dari pengaruh penguasaan Majapahit yang kemungkinan
mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan
bawahan di Lombok.
Sebelum
kedatangan pengaruh asing ke Lombok, Boda merupakan kepercayaan asli
orang Sasak. Orang Sasak pada waktu itu, yang menganut kepercayaan ini,
menyebutnya Sasak Boda. Kendati ada kesamaan bunyi dengan Buddha, agama Boda
tidak sama dengan Buddhisme. Orang Sasak tidak mengakui Sidharta Gautama
atau Sang Buddha sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran
pencerahannya. Agama Boda orang Sasak terutama ditandai oleh animisme
dan panteisme. Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal
lainnya merupakan fokus utama dari praktik keagamaan Sasak-Boda.
Konversi
orang Sasak ke dalam Islam sangat berkaitan erat dengan kenyataan adanya
penaklukan dari kekuatan luar. Beberapa kekuatan asing yang menaklukan Lombok
selama berabad-abad, sangat menentukan cara orang Sasak menyerap
pengaruh-pengaruh luar tersebut.
Kerajaan
Majapahit masuk ke Lombok dan memperkenalkan Hindu-Budhisme ke kalangan Sasak.
Setelah Majapahit runtuh, pengaruh Islam mulai muncul dan pada saat itu juga
mulai masuk ke daerah Lombok. Ketika itu Islam telah menyatu dengan ajaran
sufisme Jawa yang penuh mistik. Orang-orang Makassar tiba di Lombok Timur pada
abad ke-16 dan berhasil menguasa Selaparang, kerajaan kuno orang Sasak.
Orang-orang dari Makassar bisa dikatakan berhasil menyebarkan Islam di Lombok,
meski masih tetap tercampurkannya dengan kebudayaan lokal.
Kerajaan
Bali dari Karangasem menduduki Lombok Barat sekitar abad ke-I7, dan kemudian
mengonsolidasikan kekuasaannya terhadap seluruh Lombok setelah mengalahkan
Kerajaan Makassar pada 1740. Pemerintahan Bali memperlihatkan kearifan dan
toleransi yang besar terhadap orang Sasak dengan membiarkan mereka mengikuti
agama mereka sendiri. Kendati demikian, di bawah pemerintahan Kerajaan Bali,
kalangan bangsawan Sasak yang telah terislamisasi dan para pemimpin lainnya,
seperti Tuan Guru, merasa tertekan dan bergabung bersama-sama untuk memimpin
banyak pemberontakan kecil melawan Bali, kendati tidak berhasil.
Kekalahan
ini mendorong beberapa bangsawan Sasak meminta campur tangan militer Belanda
untuk mengusir Kerajaan Bali. Permintaan mereka itu memberikan peluang Belanda
untuk masuk ke Lombok untuk memerangi dinasti Bali. Ketika akhirnya Belanda
berhasil menaklukkan dan mengusir Bali dari Lombok. Alih-alih mengembalikan
kekuasaan bangsawan Sasak terhadap Lombok, mereka menjadi penjajah baru
terhadap Sasak. Belanda banyak mengambil tanah yang sebelumnya dikuasai oleh
Kerajaan Bali, dan memberlakukan pajak tanah yang tinggi terhadap penduduk
(Kraan, 1976).
Era Pra Sejarah
tanah Lombok tidak jelas karena sampai saat ini belum ada data-data dari para
ahli serta bukti yang dapat menunjang tentang masa pra sejarah tanah Lombok
ini.
Suku Sasak temasuk
dalam ras tipe Melayu yang konon telah tinggal di Lombok selama 2.000 tahun
yang lalu dan diperkirakan telah menduduki daerah pesisir pantai sejak 4.000
tahun yang lalu. Dengan demikian perdagangan antar pulau sudah aktif sejak
zaman tersebut dan bersamaan dengan itu saling mempengaruhi antarbudaya juga
telah menyebar.
Lombok Mirah
Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kita Negarakertagama, sebuah
kitab yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahaan kerajaan Majapahit. Kata
“Lombok” dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, kata “mirah” berarti
permata, kata “sasak” berarti kenyataan, dan kata “adi” artinya yang baik atau
yang utama. Maka arti keseluruhannya yaitu kejujuran adalah permata kenyataan
yang baik atau utama. Makna filosofi itulah mungkin yang selalu di idamkan
leluhur penghuni tanah Lombok yang tercipta sebagai bentuk kearifan lokal yang
harus dijaga dan dilestariakan oleh anak cucunya (Sasak children). Dalam
kitab – kitab lama, nama Lombok dijumpai disebut Lombok mirah dan Lombok adi .
Beberapa lontar Lombok juga menyebut Lombok dengan gumi selaparang atau
selapawis.
Asal-usul penduduk
pulau Lombok terdapat di beberapa versi, salah satunya yaitu kata “sasak”
secara etimilogis menurut Dr. Goris. s. berasal dari kata “sah” yang berarti
pergi dan “shaka” yang berarti leluhur. Berarti pergi ke tanah leluhur orang
Sasak (Lombok). Dari etimologis ini di duga leluhur orang Sasak adalah orang
Jawa. Terbukti pula dari tulisan Sasak yang oleh penduduk Lombok disebut
Jejawan, yakni aksara Jawa yang selengkapnya diresepsi oleh kesusastraan Sasak.
Sasak traditional
merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku Sasak merupakan etnis
utama meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Bukti lain juga menyatakan bahwa
berdasarkan prasasti tong – tong yang ditemukan di Pujungan, Bali, Suku Sasak
sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI Masehi, Kata Sasak pada
prasasti tersebut mengacu pada tempat suku bangsa atau penduduk seperti
kebiasaan orang Bali sampai saat ini sering menyebut pulau Lombok dengan gumi
sasak yang berarti tanah, bumi atau pulau tempat bermukimnya orang Sasak.
Sejarah Lombok tidak
lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya
baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di Lombok maupun
ekternal yaitu penguasaan dari kerajaan di luar pulau Lombok. Perkembangan era
Hindu, Buddha, memunculkan beberapa kerajaan seperti Selaparang Hindu, dan
Bayan. Kerajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya di tundukan oleh penguasa
dari kerajaan Majapahit saat ekspedisi Gajah Mada di abad XIII – XIV dan
penguasaan kerajaan Gel – Gel dari Bali pada abad VI.
Antara Jawa, Bali
dan Lombok mempunyai beberapa kesamaan budaya seperti dalam bahasa dan tulisan.
Jika di telusuri asal – usul mereka banyak berakar dari Hindu Jawa. Hal itu
tidak lepas dari pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang kemungkinan
mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di
Lombok. Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok hal tersebut
tidak lepas dari ekspansi yang dilakukan oleh kerajaan Bali sekitar tahun 1740
di bagian barat pulau Lombok dalam waktu yang cukup lama. Sehingga banyak
terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan kebudayaan kaum pendatang. Hal
tersebut dapat dilihat dari terjelmanya genre – genre campuran dalam kesenian.
Banyak genre seni pertunjukan tradisional berasal atau diambil dari tradisi
seni pertunjukan dari kedua etnik. Sasak dan Bali saling mengambil dan meminjam
sehingga terciptalah genre kesenian baru yang menarik dan saling melengkapi.
Gumi Sasak silih
berganti mengalami peralihan kekuasaan hingga ke era Islam yang melahirkan
kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik. Ada beberapa versi masuknya Islam ke
Lombok sepanjang abad XVI Masehi. Yang pertama berasal dari Jawa dengan cara
Islam masuk lewat Lombok timur. Yang kedua peng-Islaman berasal dari Makassar
dan Sumbawa. Ketika ajaran tersebut diterima oleh kaum bangsawan ajaran tersebut
dengan cepat menyebar ke kerajaan–kerajaan di Lombok timur dan Lombok tengah.
Mayoritas etnis
sasak beragama Islam, namun demikian dalam kenyataanya pengaruh Islam juga
berakulturasi dengan kepercayaan lokal sehingga terbentuk aliran seperti wektu
telu, jika dianalogikan seperti abangan di Jawa. Pada saat ini keberadaan wektu
telu sudah kurang mendapat tempat karena tidak sesuai dengan syariat Islam.
Pengaruh Islam yang kuat menggeser kekuasaan Hindu di pulau Lombok, hingga saat
ini dapat dilihat keberadaannya hanya di bagian barat pulau Lombok saja
khususnya di kota Mataram.
Silih bergantinya
penguasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain membawa dampak
semakin kaya dan beragamnya khasanah kebudayaan Sasak. Sebagai bentuk dari
Pertemuan (difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan. Seperti dalam hal
kesenian, bentuk kesenian di Lombok sangat beragam. Kesenian asli dan pendatang
saling melengakapi sehingga tercipta genre-genre baru. Pengaruh yang paling
terasa berakulturasi dengan kesenian lokal yaitu kesenian bali dan pengaruh
kebudayaan Islam. Keduanya membawa kontribusi yang besar terhadap perkembangan
kesenian-kesenian yang ada di Lombok hingga saat ini. Implementasi dari
pertemuan kebudayaan dalam bidang kesenian yaitu, yang merupakan pengaruh Bali;
Kesenian Cepung, cupak gerantang, Tari jangger, Gamelan Thokol, dan yang
merupakan pengaru Islam yaitu kesenian Rudad, Cilokaq, Wayang Sasak, Gamelan
Rebana.
Etnologi: ilmu tentang unsur atau
masalah kebudayaan suku bangsa dan masyarakat penduduk suatu daerah di seluruh
dunia secara komparatif dengan tujuan mendapat pengertian tentang sejarah dan
proses evolusi serta penyebaran kebudayaan umat manusia di muka bumi. Etnolog:
Adalah orang yang ahli etnologi.Bahasa Sasak, terutama aksaranya, sangat dekat
dengan aksara Jawa dan Bali, sama-sama menggunakan sistem aksara Ha Na Ca Ra
Ka. Tetapi secara pelafalan, bahasa Sasak lebih dekat dengan Bali. Menurut
etnolog yang mengumpulkan semua bahasa di dunia, bahasa Sasak merupakan
keluarga dari Austronesian Malayu-Polinesian, campuran Sunda-Sulawesi,
dan Bali-Sasak.
Bila diperhatikan secara langsung,
bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata sangat beragam, baik dialek
maupun kosakatanya. Ini sangat unik dan bisa menunjukkan banyaknya pengaruh
dalam perkembangannya. Secara umum, bahasa Sasak bisa diklasifikasikan ke
dalam: Kuto-Kute (Lombok Utara), Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara), Meno-Mene
(Lombok Tengah), Ngeno-Ngene (Lombok Tengah), dan Mriak-Mriku (Lombok
Selatan).
Rumah-rumah yang ada di Sasak sangat
berbeda dengan orang-orang Bali. Di dataran, rumah orang Sasak cenderung luas
dan melintang. Desa-desa di gunung terpencil tertata rapi dan mengikuti
perencanaan yang pasti. Di bagian utara, tata ruang desa-desa pegunungan yang
ideal terdiri atas dua baris rumah (bale), dengan sederet lumbung
padi di satu sisi. Dan di antara rumah-rumah ada sederet balai bersisi terbuka
(beruga) dibagun di atas enam tiang. Bagunan lain di desa adalah rumah
besar (bale bele) milik para pejabat keagamaan, yang konon didiami arwah
leluhur yang sakti. Semtara makam leluhur yang sebenarnya merupakan rumah-rumah
kayu dan bambu kecil dibangun di atasnya.
Sebenarnya diberbagai bagian
Indonesia, rumah Sasak tidak berjendela dan gelap. Digunakan terutama untuk
memasak, tidur, dan penyimpanan pusaka masyarakat menghabiskan sangat sedikit
waktu di dalam rumah sepanjang hari. Balai terbuka menyediakan panggung tempat
duduk untuk kegiatan sehari-hari dan hubungan sosial. Balai juga digunakan
untuk tidur dan untuk upacara: jenazah diletakan disini sebelum dipindahkan ke
pekuburan.
Di desa-desa bagian selatan,
panggung di bawah lumbung padi berperan sama dengan balai. Di bagian utara
(tidak semua desa di utara memiliki lumbung padi). Ada empat jenis dasar lumbung
dengan ukuran yang berbeda-beda. Yang paling besar biasanya milik orang kaya
atau keturunan bangsawan. Semua, kecuali jenis lumbung padi kecil, memiliki
panggung di bawah.
a. Lumbung Padi
lumbung padi menjadi ciri pembeda
arsitektur suku Sasak. Bangunan itu dinaikan pada tiang-tiang dengan cara khas
Austronesia dan memakai atap berbentuk “topi” yang tidak lazim, ditutup
dengan ilalang. Empat tiang besar menyangga tiang balok melintang di bagian atas,
tempat kerangka, atap penopang dengan kaso bambu bersandar.
Satu-satunya bukaan adalah sebuah
lubang persegi kecil yang terletak tinggi di atas ujung sopi-sopi, yang
merupakan tempat penyimpanan padi hasil panen. Piringan kayu yang besar (jelepreng)
disusun di atas puncak tiang dasar untuk mencegah hewan pengerat mencapai
tempat penyimpanan padi.
Rumah Adat Suku Sasak
b. Rumah
Rumah orang Sasak, yang berdenah
persegi, tidak lazim dibandingkan dengan bentuk arsitektur asli daerah lain.
Dalam hal ini di dalamnya tidak disangga oleh tiang-tiang. Bubungan atap curam
dengan atap jerami berketebalan kurang lebih 15 cm, menganjur ke dinding dasar
yang menutup panggung setinggi sekitar satu meter setengah terbuat dari
campuran lumpur, kotoran kerbau, dan jerami yang permukaannya halus dan
dipelitur. Perlu tiga atau empat langkah untuk mencapai ke rumah bagian dalam (dalam
bale) di atas panggung ini, yang ditutup dinding anyaman bambu, dan sering
kali dilengkapi dengan daun pintu ganda yang diukir halus.
Anak laki-laki tidur di panggung di
luar dalam bale; anak perempuan di dalamnya. Rumah bagian dalam berisi
tungku di sisi sebelah kanan. Dengan rak untuk mengeringkan jagung di atasnya.
Di sisi sebelah kiri dibagi untuk kamar tidur bagi para anggota rumah tangga,
berisi sebuah rumah tidur dengan rak langit-langit untuk menyimpan benda-benda
pusaka dan berharga di atasnya. Bagian ini merupakan tempat untuk
melahirkan anak. Kayu bakar disipan di bagian belakang rumah, di bawah
panggung.
3. Kajian
tentang kerajaan-kerajaan di Lombok
Di antara sumber
sejarah yang bisa digunakan untuk menjelaskan asal usul dari Lombok adalah
Babad Lombok. Menurut Babad Lombok, kerajaan tertua di pulau Lombok bernama
Kerajaan Laeq. Tapi, sumber lain, yaitu Babad Suwung menyatakan bahwa, bahwa
kerajaan tertua di Lombok adalah kerajaan Suwung yang dibangun dan diperintah
oleh Raja Betara Indera. Setelah Kerajaan Suwung ini surut, baru muncul
Kerajaan Lombok. Mana yang benar, Laeq atau Suwung? Semuanya masih dalam
perdebatan.
Secara selintas,
urutan berdirinya kerajaan-kerajaan di daerah ini bisa dirunut sebagai berikut,
dengan catatan bahwa ini bukan satu-satunya versi yang berkembang. Pada
awalnya, kerajaan yang berdiri adalah Laeq. Diperkirakan, posisinya berada di
kecamatan Sambalia, Lombok Timur. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi
migrasi, masyarakat Laeq berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu
kerajaan Pamatan, di Aikmel, desa Sembalun sekarang. Lokasi desa ini berdekatan
dengan Gunung Rinjani. Suatu ketika, Gunung Rinjani meletus, menghancurkan desa
dan kerajaan yang berada di sekitarnya. Para penduduk menyebar menyelamatkan
diri ke wilayah aman. Perpindahan tersebut menandai berakhirnya kerajaan
Pamatan.
Setelah Pamatan
berakhir, muncullah kerajaan Suwung yang didirikan oleh Batara Indera. Lokasi
kerajaan ini terletak di daerah Perigi saat ini. Setelah kerajaan Suwung
berakhir, barulah kemudian muncul kerajaan Lombok. Seiring perjalanan sejarah,
kerajaan Lombok kemudian mengalami kehancuran akibat serangan tentara Majapahit
pada tahun 1357 M. Raden Maspahit, penguasa kerajaan Lombok melarikan diri ke
dalam hutan. Ketika tentara Majapahit kembali ke Jawa, Raden Maspahit keluar
dari hutan dan mendirikan kerajaan baru dengan nama Batu Parang. Dalam
perkembangannya, kerajaan ini kemudian lebih dikenal dengan nama Selaparang.
Berkaitan dengan
Selaparang, kerajaan ini terbagi dalam dua periode: pertama, periode Hindu yang
berlangsung dari abad ke-13 M, dan berakhir akibat ekspedisi kerajaan Majapahit
pada tahun 1357 M; dan kedua, periode Islam, berlangsung dari abad ke-16 M, dan
berakhir pada abad ke-18 (1740 M), setelah ditaklukkan oleh pasukan gabungan
kerajaan Karang Asem, Bali dan Banjar Getas.
Sebelum Abad ke 16
Lombok berada dalam kekuasan Majapahit, dengan dikirimkannya Maha Patih Gajah
Mada ke Lombok. Pada akhir abad ke 16 sampai awal abad ke 17, lombok banyak
dipengaruhi oleh Jawa Islam melalui dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri, juga
dipengaruhi oleh Makassar. Hal ini yang menyebabkan perubahan agama di suku
Sasak, yang sebelumnya Hindu menjadi Islam.
Pada awal abad ke 18
M, Lombok ditaklukkan oleh kerajaan Gel Gel Bali. Peninggalan Bali yang sangat
mudah dilihat adalah banyaknya komunitas Hindu Bali yang mendiami daerah
Mataram dan Lombok Barat. Beberapa Pura besar juga gampang di temukan di kedua
daerah ini. Lombok berhasil bebas dari pengaruh Gel Gel setelah terjadinya
pengusiran yang dilakukan kerajaan Selapang (Lombok Timur) dengan dibantu oleh
kerajaan yang ada di Sumbawa (pengaruh Makassar). Beberapa prajurit Sumbawa
kabarnya banyak yang akhirnya menetap di Lombok Timur, terbukti dengan adanya
beberapa desa di Tepi Timur Laut Lombok Timur yang penduduknya mayoritas
berbicara menggunakan bahasa Samawa.
Uraian di atas
setidaknya bisa menunjukkan bahwa, kerajaan-kerajaan tersebut benar-benar ada,
pernah berdiri, berkembang kemudian runtuh. Bagaimana informasi selanjutnya,
seperti kehidupan sosial budaya masyarakat awam dan keluarga istana saat itu?
Data sejarah yang ada belum banyak mengungkap fakta tersebut.
Menurut Lalu
Djelenga, catatan sejarah yang lebih berarti mengenai kerajaan-kerajaan di
Lombok dimulai dari masuknya ekspedisi Majapahit tahun 1343 M, di bawah
pimpinan Mpu Nala. Ekspedisi Mpu Nala ini dikirim oleh Gajah Mada sebagai
bagian dari usahanya untuk mempersatukan seluruh Nusantara di bawah bendera
Majapahit. Pada tahun 1352 M, Gajah Mada datang ke Lombok untuk melihat sendiri
perkembangan daerah taklukannya.
Menurut Djelenga,
ekspedisi Majapahit ini meninggalkan jejak kerajaan Gel gel di Bali. Sedangkan
di Lombok, berdiri empat kerajaan utama yang saling bersaudara, yaitu: kerajaan
Bayan di barat, kerajaan Selaparang di Timur, kerajaan Langko di tengah, dan kerajaan
Pejanggik di selatan. Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat beberapa
kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong Samarkaton serta beberapa desa kecil,
seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh
kerajaan dan desa ini takluk di bawah Majapahit. Ketika Majapahit runtuh,
kerajaan dan desa-desa ini kemudian menjadi wilayah yang merdeka.
Di antara kerajaan
dan desa-desa di atas, yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah
kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Pusat kerajaan ini terletak di
Teluk Lombok yang strategis, sangat indah dengan sumber air tawar yang banyak.
Posisi strategis dan banyaknya sumber air menyebabkannya banyak dikunjungi
pedagang dari berbagai negeri, seperti Palembang, Banten, Gresik, dan Sulawesi.
Berkat perdagangan yang ramai, maka kerajaan Lombok berkembang dengan cepat.
Kedatangan
Penjajah Belanda
Belanda telah datang
dan berhasil menundukkan banyak kerajaan di nusantara. Watak imperialisme
Belanda yang ingin menguasai seluruh jalur perdagangan di nusantara telah
menimbulkan kemarahan Kerajaan Gowa di Sulawesi. Jalur perdagangan di utara
telah dikuasai oleh Belanda. Untuk mencegah jatuhnya jalur selatan, kemudian
Gowa berinisiatif menutup jalur selatan dengan menguasai Pulau Sumbawa dan
Selaparang. Kedatangan penjajah Eropa juga membawa misi kristenisasi, karena
itu, Gowa kemudian menaklukkan Flores Barat dan mendirikan Kerajaan Manggarai
untuk mencegah kristenisasi tersebut.
Ekspansi Gowa
menimbulkan kekhawatiran Gelgel. Untuk mencegah agar Gelgel tidak dimanfaatkan
Belanda, maka Gowa kemudian mengadakan perjanjian dengan Gelgel tahun 1624 M,
yang disebut Perjanjian Sagining. Dalam perjanjian diatur, Gelgel tidak akan
mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda, sementara Gowa akan melepaskan
kekuasaannya atas Selaparang. Perjanjian ini tidak berlangsung lama, karena
masing-masing pihak melanggar isi perjanjian tersebut.
Untuk mengimbangi
Gelgel yang bekerjasama dengan Belanda, kemudian Gowa bekerjasama dengan
Mataram di Jawa. Selanjutnya, dalam usaha untuk memperebutkan hegemoni,
akhirnya pecah peperangan antara Gowa dan Belanda di Lombok. Dalam perang
tersebut, Gowa mengalami kekalahan, hingga terpaksa menandatangani perjanjian
dengan Belanda di Bungaya. Bungaya merupakan sebuah tempat yang terletak dekat
pusat Kerajaan Gelgel di Klungkung, Bali, dan merupakan simbol dari dekatnya
hubungan antara Gelgel dengan Belanda.
Konsekwensi
kekalahan Gowa dari Belanda adalah, Gowa harus melepaskan seluruh daerah
kekuasaannya di Lombok, Sumbawa dan Bima. Memanfaatkan kekosongan Gowa
tersebut, Gelgel kembali mencoba menaklukkan Selaparang, namun selalu menemui
kegagalan.
Walaupun Selaparang
telah berhasil mengalahkan Gelgel, namun, wilayah kerajaan ini belum sepenuhnya
aman dari ancaman eksternal. Dalam perkembangannya, kemudian berdiri dua
kerajaan baru pada tahun 1622 M, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan. Untuk
mengantisipasi ancaman, kemudian Selaparang menempatkan sepasukan kecil tentara
untuk menjaga perbatasan di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Ternyata, kehancuran
Selaparang bukan karena serangan dua kerajaan kecil ini, tapi akibat serangan
ekspedisi tentara Kerajaan Karang Asem tahun 1672 M. Pusat Kerajaan Selaparang
rata dengan tanah, sementara keluarga kerajaan semuanya terbunuh. Sejak saat
itu, Kerajaan Karang Asem menjadi penguasa tunggal di Lombok.
4. Kehidupan
Sosial Budaya
Di masa Prabu
Rangkesari, Lombok (Selaparang) mencapai masa kejayaannya. Saat itu, kehidupan
budaya berkembang pesat. Para cerdik pandai dari Selaparang menguasai dengan
baik bahasa Kawi, bahasa yang berkembang di nusantara ketika itu. Berkat
kemajuan dalam dunia sastra tersebut, akhirnya, para cendekiawan Selaparang
berhasil menciptakan aksara baru, yaitu aksara Sasak yang disebut Jejawen.
Dengan bekal
pengetahuan bahasa Kawi, Sasak dan aksara Sasak, para sastrawan Selaparang
banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin sastra Jawa kuno ke
dalam lontar-lontar Sasak. Di antara lontar-lontar tersebut adalah Kotamgama,
Lapel Adam, Menak Berji dan Rengganis. Selain itu, para pujangga juga banyak
menyalin dan mengadaptasi ajaran sufi para walisongo. Salinan dan adaptasi
tersebut tampak dalam lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan
Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan
diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Sidik Anak
Yatim.
Kajian yang lebih
mendalam terhadap lontar-lontar tersebut akan mampu mengungkap kondisi sosial,
budaya dan politik masyarakat Lombok pada saat itu. Dalam bidang sosial politik
misalnya, Lontar Kotamgama menggariskan sifat dan sikap seorang pemimpin, yakni
Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta berarti gading gajah, artinya, apabila
dikeluarkan, tidak mungkin dimasukkan lagi; Danti berarti ludah, artinya,
apabila sudah dilontarkan ke tanah, tidak mungkin dijilat lagi; Kusuma berarti
kembang, artinya, bunga yang sama tidak mungkin mekar dua kali; Warsa artinya
hujan, artinya, apabila telah jatuh ke bumi, tidak mungkin naik kembali menjadi
awan. Itulah sebabnya, seorang raja atau pemimpin hendaknya berhati-hati dalam
setiap tindakan, agar tidak melakukan banyak kesalahan.
Demikianlah,
Kerajaan Selaparang muncul, berkembang kemudian runtuh. Walaupun demikian,
sisa-sisa peradaban tulis yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa, kehidupan
budaya di negeri ini cukup semarak dan berkembang.
5. Suku
di Lombok (suku Sasak)
Jika diperhatikan
secara fisik, suku Sasak ini lebih mirip orang Bali dibandingkan orang Sumbawa.
Dari aspek ini bisa jadi orang Sasak berasal dari Bali. Sekarang tinggal di
cari orang Bali berasal dari mana?
Berikut ini adalah
foto-foto sejarah koleksi Tropen Museum Royal Tropical Institut
sekitar abad 18-19, yang memuat kehidupan sosial masyarakat Lombok di zaman
kolonial Belanda:
Kesenian Tradisional
Hingga saat ini di Lombok yang
terkenal suku Sasak memiliki berbagai macam budaya daerah.Merupakan aset daerah
yang perlu dilestarikan sebagai peninggalan nenek moyang. Kebudayaan Sasak
bukan hanya milik Lombok, melainkan sudah termasuk ke dalam kebudayaan
Indonesia. Berikut adalah beberapa kebudayaan yang masih berkembang di suku
Sasak.
a. Bau Nyale
Bau Nyale adalah sebuah legenda dan bernilai
sakral tinggi bagi suku Sasak. Tradisi ini diawali oleh kisah seorang putri
Raja Tonjang Baru yang sangat cantik bernama Putri Mandalika. Karena
kecantikannya itu, para putra raja memperebutkan untuk meminangnya. Jika salah
satu putra raja ditolak pinangannya, maka akan timbul peperangan. Sang Putri
Mandalika mengambil keputusan: pada tanggal 20 bulan kesepuluh ia menceburkan
diri ke laut lepas. Dipercaya oleh masyarakat hingga kini bahwa Nyale adalah
jelmaan dari Putri Mandalika. Nyale adalah sejenis binatang laut
berkembang biak dengan bertelur, perkelaminan antara jantan dan betina. Upacara
ini diadakan setahun sekali.
Bagi masyarakat Sasak, nyale dipergunakan
untuk bermacam-macam keperluan seperti santapan (emping nyale),
ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi, lauk-pauk, obat kuat, dan lainnya
yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing. Upacara Rebo
Bontong dimaksudkan untuk menolak bala (bencana atau penyakit).
Dilaksanakan setahun sekali tepat pada hari Rabu minggu terakhir bulan Safar.
Menurut kepercayaan masyarakat
Sasak, hari Rebo Bontong merupakan puncak terjadi Bala (bencana atau
penyakit). Sehingga sampai sekarang masih dipercaya untuk memulai suatu
pekerjaan tidak diawali pada hari Rebo Bontong. Rebo dan Bontong
berarti “putus” sehingga bila diberi awalan pe menjadi “pemutus”.
Upacara Rebo Bontong ini sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh
masyarakat di Kecamatan Pringgabaya.
b. Slober
Kesenian slober adalah
alat musik tradisional Lombok yang tergolong cukup tua. Alat-alat musiknya
sangat unik dan sederhana. Terbuat dari pelepah enau dengan panjang 1 jengkal
dan lebar 3 cm. Kesenian slober didukung juga dengan peralatan yang
lainnya yaitu gendang, petuq, rincik, gambus, seruling. Nama slober diambil
dari salah seorang warga desa Pengadangan Kecamatan Pringgasela yang bernama
Amaq Asih alias Amaq Slober. Kesenian ini salah satu kesenian yang masih eksis
sampai saat ini yang biasanya dimainkan pada setiap bulan purnama.
c. Lomba Memaos
Lomba Memaos atau lomba
membaca lontar merupakan lomba menceritakan hikayat kerajaan masa lampau. Satu
kelompok pepaos terdiri dari 3-4 orang: satu orang sebagai pembaca,
satu orang sebagai pejangga, dan satu orang sebagai pendukung vokal. Tujuan
pembacaan cerita ini untuk mengetahui kebudayaan masa lampau dan menanamkan
nilai-nilai budaya pada generasi penerus.
d. Periseian
Periseian (Presean) adalah kesenian beladiri
yang sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di Lombok. Awalnya adalah
semacam latihan pedang dan perisai sebelum berangkat ke medan pertempuran. Pada
perkembangannya hingga kini, senjata yang dipakai berupa sebilah rotan dengan lapisan
aspal dan pecahan kaca yang dihaluskan. Sedangkan perisai (ende) terbuat
dari kulit lembu atau kerbau. Setiap pemain atau pepadu dilengkapi
dengan ikat kepala dan kain panjang.
Kesenian ini tak lepas dari
upacara ritual dan musik yang membangkitkan semangat untuk berperang.
Pertandingan akan dihentikan jika salah satu pepadu mengeluarkan darah
atau dihentikan oleh juri. Walau perkelahian cukup seru bahkan tak jarang
terjadi cidera hingga mengucurkan darah di dalam arena, tetapi di luar arena
para pepadu menjunjung tinggi sportivitas dan tidak ada dendam di antara
mereka. Inilah pepadu Sasak. Festival periseian diadakan setiap
tahun di Kabupaten Lombok Timur dan diikuti oleh pepadu sepulau Lombok.
e. Begasingan
Begasingan merupakan salah satu permainan yang
mempunyai unsur seni dan olahraga, permainan yang tergolong cukup tua di
masyarakat Sasak. Begasingan ini berasal dari dua suku kata, yaitu gang
dan sing; gang artinya “lokasi”, sing artinya “suara”.
Seni tradisional ini mencerminkan nuansa kemasyarakatan yang tetap berpegangan
kepada petunjuk dan aturan yang berlaku di tempat permainan. Nilai-nilai yang
berkembang di dalamnya selalu mengedepankan rasa saling menghormati dan rasa
kebersamaan yang cukup kuat serta utuh dalam melaksanakan suatu tujuan di mana
selalu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Permainan ini biasanya dilakukan
semua kelompok umur dan jumlah pemain tergantung kesepakatan kedua belah pihak
di lapangan.
f. Bebubus Batu
Bebubus Batu masih dilaksanakan di Dusun Batu
Pandang, Kecamatan Swela. Bebubus Batu berasal dari kata bubus, yaitu
sejenis ramuan obat terbuat dari beras dan dicampur dengan berbagai jenis
tumbuh-tumbuhan, dan batu, yakni batu tempat untuk melaksanakan upacara
yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Prosesi acara ini dipimpin oleh
pemangku yang diiringi oleh kiai. Penghulu dan seluruh warga dengan menggunakan
pakaian adat membawa sesajen (dulang) serta ayam yang akan dipakai untuk
melaksanakan upacara. Upacara Bebubus Batu dilaksanakan setiap tahunnya yang
dimaksudkan adalah untuk meminta berkah kepada Sang Pencipta.
g. Tandang Mendet
Tandang Mendet merupakan tarian perang. Tari ini
telah ada sejak zaman kejayaan Kerajaan Selaparang yang menggambarkan
keprajuritan. Tarian ini dimainkan oleh belasan orang yang berpakaian lengkap
dengan membawa tombak, tameng, kelewang (pedang bersisi tajam satu), dan
diiringi dengan gendang beleq serta syair-syair yang menceritakan
tentang keperkasaan dan perjuangan. Tarian ini masih dilaksanakan di Sembalun.
h. Sabuk Belo
Sabuk Belo adalah sabuk yang panjangnya 25
meter dan merupakan warisan turun temurun masyarakat Lombok khususnya yang
berada di Lenek Daya. Sabuk Belo biasanya dikeluarkan pada saat
peringatan Maulid Bleq bertepatan dengan 12 Rabiul Awal tahun Hijriah. Upacara
pengeluaran Sabuk Bleq ini diawali dengan mengusung keliling kampung
secara bersama-sama yang diiringi dengan tetabuhan gendang beleq yang
dilanjutkan dengan praja mulud dan diakhiri dengan memberi makan
kepada berbagai jenis makhluk. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, upacara
ini dilakukan sebagai simbol ikatan persaudaraan, persahabatan, persatuan dan
gotong royong serta rasa kasih sayang di antara makhluk Tuhan.
i. Gendang Beleq
Gendang Beleq merupakan pertunjukan ensembel
dengan alat perkusi gendang besar memainkan peran utamanya. Ada dua buah jenis gendang
beleq, yaitu gendang mama (laki-laki) dan gendang nina (perempuan),
berfungsi sebagai pembawa dinamika. Sebuah gendang kodeq (gendang kecil),
dua buah reog sebagai pembawa melodi (yang satu reog mama, terdiri atas
dua nada; dan reog nina, yakni perembak beleq yang berfungsi
sebagai alat ritmis). Delapan buah perembak kodeq (paling sedikit enam
buah dan paling banyak sepuluh, berfungsi sebagai alat ritmis), sebuah petuk
sebagai alat ritmis, sebuah gong besar sebagai alat ritmis, sebuah gong
penyentak sebagai alat ritmis, sebuah gong oncer sebagai alat ritmis,
dan dua buah bendera maerah atau kuning yang disebut lelontek.
Menurut cerita, gendang beleq dulu
dimainkan bila ada pesta-pesta kerajaan. Bila terjadi perang berfungsi ia
sebagai komandan perang, sedang copek sebagai prajuritnya. Bila datu
(raja) ikut berperang, maka payung agung akan digunakan. Sekarang, fungsi
payung ini ditiru dalam upacara perkawinan.
Gendang Beleq dapat dimainkan sambil berjalan atau
duduk. Komposisi musiknya bila dilakukan dalam keadaan berjalan maka memunyai
aturan tertentu; berbeda dengan posisi duduk yang tidak memunyai aturan. Pada
waktu dimainkan, pembawa gendang beleq akan memainkannya sambil menari,
demikian juga pembawa petuk, copek, dan lelontok.
Struktur Masyarakat
Masyarakat Sasak dipandang sebagai
penduduk asli Pulau Lombok. Mereka mengenal suatu pelapisan atau penggolongan
masyarakat. Secara sosial-politik, masyarakat Sasak dapat digolongkan ke dalam
dua tingkatan utama, yaitu golongan bangsawan yang lazim disebut perwangsa
dan golongan masyarakat kebanyakan yang disebut jajar karang atau bangsa
Ama.
Golongan perwangsa terbagi
atas dua tingkatan, yaitu bangsawan penguasa dan bangsawan rendahan. Para
bangsawan penguasa atau perwangsa menggunakan gelar datu. Penyebutan
untuk kaum laki-laki golongan ini adalah raden dan perempuan
bangsawannya dipanggil denda. Jika kelompok raden telah mencapai
usia cukup dewasa dan ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayahnya, mereka
berhak memakai gelar datu. Perubahan gelar itu dilakukan setelah melalui
upacara tertentu. Bangsawan
rendahan atau triwangsa menggunakan gelar lalu untuk para lelaki
dan baiq untuk para perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar
karang, panggilan untuk laki-laki adalah loq dan perempuannya adalah
le. Golongan pertama dan kedua lazim disebut permenak.
Sesuai dengan statusnya, golongan permenak
di samping lebih tinggi daripada jajar karang, merupakan penguasa
sekaligus pemilik sumber daya lahan pertanian yang luas. Ketika dinasti
Karangasem Bali berkuasa di Lombok, golongan permenak hanya menduduki
jabatan sebagai pembekel di daerah berpenduduk Sasak. Masyarakat Sasak memberikan
penghormatan kepada golongan permenak berdasarkan ikatan tradisi
turun-temurun dan berdasarkan ikatan budaya Islam. Landasan pelapisan sosial
masyarakat Sasak mengikuti garis keturunan lelaki (patrilineal).
Dalam alam kepercayaan, masyarakat
Lombok mengenal tiga kelompok agama yang dianut oleh kalangan orang Sasak,
yaitu kelompok Boda, Waktu Telu, dan Islam. Kelompok Boda dalam
bentuk komunitas kecil berdiam di pegunungan utara dan di jajaran lembah
pegunungan selatan Lombok. Kelompok Boda adalah orang-orang Sasak yang
dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan menyembah berhala.
Mereka menyingkir ke daerah pegunungan dalam upaya melepaskan diri atau
menghindari islamisasi di Lombok. Nama Waktu Telu diberikan kepada penganut kepercayaan yang
beribadah tiga kali pada bulan puasa, yaitu sembahyang Magrib, Isya, dan Subuh.
Di luar bulan puasa, mereka dalam seminggu hanya sekali melakukan ibadah, yaitu
pada hari Kamis dan Jumat, saat waktu Asar. Urusan ibadah salat dan puasa
diserahkan kepada pemimpin agama mereka, yaitu para kiai dan penghulu.
Pada hari-hari tertentu penduduk
memberi sedekah kepada pemimpin agamanya. Mereka hanya menunaikan tugas yang
diberikan oleh para kiai. Semua kiai Waktu Telu tidak melaksanakan zakat
dan naik haji. Daerah-daerah penganut Waktu Telu meliputi Bayan dan Tanjung di
Lombok Barat, dataran tinggi Sembalun dan Suranadi di Lombok Timur, dan Pujut
di Lombok Tengah. Hubungan
kekerabatan masyarakat Sasak walau terkesan bilateral, lebih menganut pola
patrilineal. Pola kekerabatan itu disebut Wiring Kadang yang mengatur
hak dan kewajiban warga. Unsur-unsur kekerabatan itu meliputi ayah, kakek,
saudara laki-laki ayah (paman), anak lelaki saudara lelaki ayah (sepupu), dan
anak-anak mereka. Warga kelompok Wiring Kadang mengemban tanggung jawab
terhadap masalah keluarga, yang terutama terlihat pada saat persiapan penikahan
salah seorang anggota kerabat. Masalah warisan dan pengaturannya menjadi hak
mereka.
Harta warisan biasanya disebut pustaka
yang mengandung nilai-nilai luhur dan berbentuk seperti tanah, rumah, dan
benda-benda lainnya yang dianggap keramat. Benda-benda keramat itu, antara
lain, berupa pakaian, keris, dan permata. Orang-orang Bali di Lombok juga
memiliki pola kekerabatan yang serupa dan disebut purusa. Garis
keturunan mereka berdasarkan pada garis ayah. Seperti pada masyarakat Sasak,
pola pewarisan mereka disebut pusaka.
Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, kehidupan masyarakat Sasak lebih banyak mengemban kewajiban
terhadap kekuasaan kerajaan. Walau di sejumlah desa, seperti Praya dan Sakra,
memiliki hak perdikan, yaitu bebas dari pungutan pajak. Namun, kewajiban
apati getih, yaitu ikut serta dalam peperangan kerajaan tetap harus
dipenuhi. Kerajaan memberikan hak itu berkenaan dengan jasa mereka yang
telah membantu dalam memenangkan peperangan.
Kehidupan petani pada umumnya selalu
berada di bawah “penindasan” para bangsawan dan pejabat kerajaan. Banyak lahan
pertanian mereka yang diambil alih oleh raja melalui hak sita komunal
sebelumnya. Banyak tanah yang tidak memiliki ahli waris menjadi milik kerajaan.
Selain itu, tuntutan kerja wajib menjadikan para bangsawan tidak jarang secara
sewenang-wenang mengambil putra-putri mereka untuk menjadi pekerja dan pelayan. Padahal di lahan pertanian para
petani sangat membutuhkan tenaga putra-putri mereka. Para petani menjual hasil
pertanian kepada para pedagang di bawah syahbandar dan sebaliknya mereka
memperoleh barang kebutuhan lainnya dari jalur perdagangan itu pula. Kekuasaan
kerajaan sangat memengaruhi kehidupan masyarakat perdesaan.
Islam secara
teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah dan
transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena
peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika
Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus
menyertai agama ini sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh
dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan
ini –diakui atau tidak—memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan
Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban
yang mewakili dan diakui okeh masyarakat dunia.
Aktualisasi Islam
dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek
lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu.
Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan
nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang
mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini
merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat
manusia.
Relasi antara Islam
sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas dalam kajian
antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini, bahwa agama merupakan
penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama
samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat
Muslim. Tesis ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk
aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam
sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks sekarang, pengkajian
hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para
ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syari’ah. Dalam pandangan mereka,
jika syari’ah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah
pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan
mengakomodasi perubahan masyarakat.
Islam sebagai agama,
kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah sejak awal masuk ke Indonesia pada
abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberi sumbangsih
terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Islam tidak saja hadir dalam
tradisi agung [great tradition] bahkan memperkaya pluralitas dengan
islamisasi kebudaya andan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak
melahirkan tradisi-tardisi kecil [little tradition] Islam. Berbagai
warna Islam –-dari Aceh, Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan lainnya—riuh
rendah memberi corak tertentu keragaman, yang akibatnya dapat berwajah ambigu.
Ambiguitas atau juga disebut ambivalensi adalah fungsi agama yang sudah
diterima secara umum dari sudut pandang sosiologis.
Perkawinan merupakan
suatu peristiwa penting dalam kehidupan suku Sasak. Seseorang baru dianggap
sebagai warga penuh dari suatu masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan
demikian ia akan memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok
kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan menurut Islam
dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tenteram
dan damai (mawaddah wa rahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan
generasi (mendapatkan keturunan), maka perkawinan bagi masyarakat Sasak juga
memiliki makna yang sangat luas, bahkan menurut orang Sasak, perkawinan bukan
hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi
sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan hubungan dua keluarga besar,
yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan. Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka
terdapat tiga macam perkawinan dalam masyarakat suku Sasak Lombok, yaitu: (1)
perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan dalam satu kadang
waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan dengan misan/cross
cousin); (2) perkawinan antara pria dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang
jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang
(untuk memperkuat hubungan kekeluargaan); dan (3) perkawinan antara pihak
laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan)
disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas daerah/wilayah). Dengan
demikian, maka semakin jelas bahwa tujuan perkawinan menurut adat Sasak adalah
untuk melanjutkan keturunan (penerus generasi), memperkokoh ikatan kekerabatan
dan memperluas hubungan kekeluargaan. Selanjutnya,
apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak bisa tidak membicarakan merari’,
yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merari’ sebagai
ritual memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat unik, dan mungkin
hanya dapat ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Begitu
mendarah dagingnya tradisi ini dalam masyarakat, sehingga apabila ada orang
yang ingin mengetahui status pernikahan seseorang, orang tersebut cukup
bertanya apakah yang bersangkutan telah merari’ atau belum. Oleh
karenanya tepat jika dikatakan bahwa merari’ merupakan hal yang sangat
penting dalam perkawinan Sasak. Bahkan, meminta anak perempuan secara langsung
kepada ayahnya untuk dinikahi tidak ada bedanya dengan
meminta seekor ayam.
Bukti otentik suku Sasak
Beberapa minggu yang lalu, ada seorang yang mengirimkan ke
saya sebuah bukti otentik asal usul suku Sasak yang disimpan keluarganya di
Lombok Tengah. Bukti tersebut berupa silsilah keluarga yang berujung pada
sebuah nama: Datu Pangeran Djajing Sorga (dari Majapahit, Kabangan, Jawa
Timur). Dari bukti otentik tersebut, jelaslah terlihat bahwa suku Sasak yang
mendiami Pulau Lombok, sebenarnya berasal dari Jawa.
Bahasa
Bahasa Sasak, terutama aksara (bahasa tertulis) nya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali, sama sama menggunakan aksara Ha Na Ca Ra Ka …dst. Tapi secara pelafalan cukup dekat dengan Bali.
Bahasa Sasak, terutama aksara (bahasa tertulis) nya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali, sama sama menggunakan aksara Ha Na Ca Ra Ka …dst. Tapi secara pelafalan cukup dekat dengan Bali.
Menurut Ethnologue yang mengumpulkan semua bahasa di dunia,
bahasa Sasak merupakan keluarga (Languages Family) dari Austronesian
Malayo-Polynesian (MP), Nuclear MP, Sunda-Sulawesi dan Bali-Sasak. Sementara
kalau kita perhatikan secara langsung, bahasa Sasak yang berkembang di Lombok
ternyata sangat beragam, baik dialek (cara pengucapan) maupun kosa katanya. Ini
sangat unik dan bisa menunjukkan banyaknya pengaruh dalam perkembangannya. Saat
Pemerintah Kabupaten Lombok Timur ingin membuat Kamus Sasak saja, mereka
kewalahan dengan beragamnya bahasa Sasak yang ada di lombok Timur, walaupun
secara umum bisa diklasifikasikan ke dalam: Kuto-Kute (Lombok Bagian Utara),
Ngeto-Ngete (Lombok Bagian Tenggara), Meno-Mene (Lombok Bagian Tengah),
Ngeno-Ngene (Lombok Bagian Tengah), Mriak-Mriku (Lombok Bagian Selatan). Dari
aspek bahasa, Papuk Bloq, bisa jadi berasal dari Jawa (Malayo-Polynesian),
Vitname atau Philipine ( Austronesian), atau dari Sulawesi (Sunda-Sulawesi).
Semoga Dewan Adat Sasak segera menerbitakan buku Sejarah Sasak dan merampungkan
Kamus Bahasa Sasak.
1. Pariwisata
di pulau Lombok
Kalau kita lihat dari aspek sejarah, orang Sasak bisa jadi
berasal Jawa, Bali, Makassar dan Sumbawa. Tapi bisa juga ke empat etnis
tersebut bukan Papuk Bloq orang sasak, melainkan hanya memberi pengaruh besar
pada perkembangan Suku Sasak.
Pulau Lombok yang memiliki luas 473.780 hektare ini tak hanya
menyimpan kekayaan wisata alam semata. Bicara Pulau Lombok maka pikiran
menerawang ke hamparan pantai Senggigi yang eksotis, indah, dan menawan. Pantai
berpasir putih dengan deburan ombak kecilnya ini sayang untuk dilewatkan. Tak
heran bila banyak wisatawan mancanegara maupun wisatawan Nusantara
menyinggahinya.
Lombok dalam banyak hal mirip dengan Bali, dan pada dasawarsa
tahun 1990-an mulai dikenal wisatawan mancanegara. Namun dengan munculnya
krismon dan krisis-krisis lainnya, potensi pariwisata agak terlantarkan. Lalu
pada awal tahun 2000 terjadi kerusuhan antar-etnis dan antar agama di seluruh
Lombok sehingga terjadi pengungsian besar-besaran kaum minoritas. Mereka
terutama mengungsi ke pulau Bali.
Berikut beberapa objek wisata di Lombok yang sayang
dilewatkan. Diantaranya:
1) Wisata Alam
1) Wisata Alam
a) Mataram dan Cakranegara
Kota Mataram adalah
ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Kota Mataram terdiri dari 6
(Enam) Kecamatan yaitu Kecamatan Ampenan, Cakranegara, Mataram, Pejanggik,
Selaparang, Sekarbela, dengan 50 kelurahan dan 297 Lingkungan. Kota Mataram
terletak pada 08° 33’ – 08° 38’ Lintang selatan dan 116° 04’ – 116° 10’ Bujur
Timur. Selain ibukota propinsi, Mataram juga telah menjadi pusat pemerintahan,
pendidikan, perdagangan, industri dan jasa, serta saat ini sedang dikembangkan
untuk menjadi kota pariwisata.
Keberadaan berbagai
fasilitas penunjang seperti fasilitas perhubungan seperti Bandara Internasional
Selaparang sebagai pintu masuk Lombok melalui udara, pusat perbelanjaan, dan
jalur transportasi yang menghubungkan antar kabupaten dan propinsi inilah yang
menjadi pertimbangan dalam pengembangan Kota Mataram menjadi kota pariwisata.
Mataram sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Lombok Barat sebelum terjadi
pemekaran wilayah. Kini, ibukota Kabupaten Lombok Barat di pindahkan ke Giri
Menang Gerung.
b) Narmada
Taman Narmada, 11
kilometer di timur kota Mataram, dibangun pada tahun 1727 oleh Raja Anak Agung
Gede Ngurah Karang Asem sebagai taman yang indah sekaligus tempat untuk memuja
Shiva. Kolamnya yang besar disebut sebagai miniatur Segara Anakan, danau kawah
dari gunung berapi Rinjani dimana mereka biasanya melakukan pemujaan dengan
melemparkan barang berharga ke dalam air. Sejalan dengan orang-orang yang
terlalu tua untuk mencapai gunung setinggi 3,726 meter, mereka membuat Narmada
untuk mewakilkan gunung dan danaunya. Di dekat kolam terdapat tempat untuk
pemujaan dan mata air yang dipercaya bias membuat awet muda.
c) Pura Lingsar
Pura ini mungkin
satu-satunya tempat pemujaan di dunia dimana Hindu dan Muslim datang untuk
melakukan pemujaan. Kira-kira 7 kilometer di sebelah barat Narmada, pura ini
dibangun pada tahun 1714 dan dibangun kembali pada tahun 1878 untuk
melambangkan keharmonisan dan persatuan antara umat Bali Hindu dan Sasak Muslim
di daerah tersebut, khususnya mereka yang mentaati peraturan sekolah Islam Wetu
Telu yang unik. Pura Bali dibangun di tanah dataran tinggi, di belakang
permukiman Muslim. Di tanah yang agak rendah adalah mata air dan di halaman
pura adalah tempat diadakannya perang ketupat.
d) Pura Agung Gunung Sari
Pura besar ini
berada di atas perbukitan di Gunung Sari, kira-kira empat kilometer dari
Mataram, adalah saksi sejarah perang Puputan yang terjadi pada 22 November 1894
antara putra mahkota terakhir dari pemimpin Bali, Anak Agung Nengah dan
pengikutnya dengan para tentara Belanda di bawah pimpinan Jendral Van der
Vetter.
e) Sukarare
Ini adalah desa
tempat kerajinan tenun yang terletak di sebelah selatan Cakranegara. Lombok
terkenal dengan kerajinan kain songketnya yang indah. Penduduk di desa ini
telah mewarisi kerajinan ini secara turun temurun dari generasi ke generasi.
f) Sengkol, pujut dan Rambitan
Waktu sepertinya
tidak berputar di ketiga desa yang terletak di bagian selatan Lombok, yang
menghubungkan kota mataram ke pantai Kuta. Seluruh rumah dan bangunan dibangun
dengan gaya tradisional kuno dimana kehidupan mereka seakan-akan tidak
mengikuti perubahan jaman. Padang gersangnya yang luas terlihat mengesankan
dalam ketandusannya.
g) Pantai Batu Bolong
Terletak 9 km dari
pusat kota Mataram, pantai ini mempunyai batu besar yang memiliki lubang di
tengahnya. Sebuah pura berdiri menghadap selat Lombok dan di seberangnya
terlihat garis batas Gunung Agung, Bali. Setelah berjemur, bersantai dan
bersenang-senang di pantai yang indah, cobalah untuk menunggu sampai sore untuk
menyaksikan pemandangan matahari terbenam yang menakjubkan yang pernah anda
lihat ketika matahari perlahan mulai menghilang di balik Gunung Agung dengan
warna-warnanya yang berkilauan.
h) Taman Mayura
Taman Mayura adalah
salah satu peninggalan dari kerajaan Karang Asem Bali yang dibangun oleh
Rajanya A.A. Ngurah pada tahun 1744. Di tengah-tengah kolam besar terdapat
bangunan yang disebut Balai Kambang yang dulunya dipergunakan sebagai
pengadilan sekaligus juga sebagai balai pertemuan. Anehnya, arsitektur bangunan
tersebut memperlihatkan pengaruh Hindu dan juga Islam, sedangkan di sekitar
tempat itu, patung dibuat dari batu dengan nuansa haji.
i) Pura Meru
Peninggalan Kerajaan
Karang Asem yang lain adalah Pura Meru yang terletak di Cakranegara, dekat dari
Mataram. Pura ini dibangun pada tahun 1720 di bawah pemerintahan Raja A.A. Made
sebagai symbol persatuan umat Hindu di Lombok. Beberapa bangunan juga ditemukan
di dalam kompleks pura ini, yang semuanya di desain untuk berbagai macam
tujuan, termasuk 33 bangunan kecil yang terletak di sebelah pura utama.
j) Pantai Kuta
Dikenal juga dengan
sebutan pantai Putri Nyale, Kuta yang terletak di pantai bagian selatan Lombok
Tengah adalah satu dari pantai di Indonesia yang mempunyai pemandangan indah
dan belum tersentuh. Dari Kuta menempuh jarak 5 km menuju Tanjung Aan, sebuah
bentangan pasir putih di Samudera Hindia. Di sini tempat yang aman untuk
berjemur dan berenang. Lebih jauh kea rah barat adalah pantai tempat untuk para
peselancar. Setiap tahun, pada tanggal 19 di bulan kesepuluh pada kalender suku
Sasak, ketika ikan Nyale muncul ke permukaan laut, Pantai Kuta menjadi ramai
dengan berbagai macam festival.
Para nelayan
berlayar ke laut sementara para pemuda pemudi berkumpul di pinggir pantai untuk
menikmati pesta, sambil menggoda satu sama lain dan mungkin bisa berlanjut ke
hubungan yang lebih serius.
k) Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan
Gili, dalam bahasa
Sasak berarti “pulau”. Ketiga pulau ini terletak berdekatan di barat laut pulau
Lombok. Di sekitar pulau dipenuhi dengan batu karang yang indah. Gili Air,
pulau yang paling dekat, bias dicapai dengan 10 hingga 15 menit dengan perahu
motor dari pelabuhan Bangsal, dekat Pamenang.
l) Pantai Senggigi
Senggigi, di selatan
Bangsal, memiliki pemandangan yang paling indah dan paling populer di pulau
Lombok dengan banyak fasilitas akomodasi yang bagus. Batu karang tumbuh di
pinggiran pantai.
m) Gunung Rinjani
Gunung Rinjani,
gunung volcano yang masih aktif setinggi 3.726 meter, adalah satu dari gunung
tertinggi di Indonesia. Di dasar kawah terdapat kaldera yang membentuk danau
kawah gunung berapi Segara Anak, dikelilingi oleh tebing-tebing yang curam.
Gunung ini populer di kalangan para pendaki. Sembalun Bumbung dan Sembalun
Lawang adalah dua desa tradisional Sasak di kaki Gunung Rinjani.
2) Wisata sejarah
Di pulau Lombok terdapat beberapa tempat untuk melihat dan
mengunjungi tempat-tempat bersejarah peninggalan kerajaan Islam dan Hindu,
seperti di wilayah Kabupaten Lombok Timur terdapat bekas peninggalan kerajaan
Islam terbesar Pulau Lombok yaitu Kerajaan Islam Selaparang yang sekarang
diabadikan namanya oleh salah satu Bandara di Pulau Lombok yaitu Bandara
Selaparang. Selain itu terdapat pula peninggalan Masjid di Kabupaten Lombok
Utara pada waktu penyebaran agama Islam pertama di Pulau Lombok yaitu Masjid Bayan
Beleq, tempat ini berlokasi di Kecamatan Bayan dan dapat di tempuh dengan
kendaraan Pribadi sekitar 3 Jam. Selain itu terdapat juga Tirta Yatra (yang
merupakan peninggalan kerajaan Karangasem).
Istana Air Mayura (Bukti bahwa perbedaan itu
Indah)
Istana Air Mayura dibangun oleh Anak Agung Anglurah Made Karang Asem pada tahun 1744. Beliau adalah seorang Raja yang membesarkan Kerajaan Karangasem di Lombok. Dahulu tempat tersebut yangbernama Kelepuk adalah hutan belantara yang banyak dihuni oleh ular berbisa. Sewaktu akan membangun tempat Mayura, Raja Bali tersebut meminta bantuan kepada Raja Makassar yang kemudian mengirimkan burung merak untuk menakut-nakuti ular di tempat tersebut. Sehingga nama tempat tersebut diganti menjadi Mayora, dalam bahasa sanskerta berarti burung merak. Dalam lidah orang Lombok, berubah menjadi Mayura (dibaca Mayure).
Istana Air Mayura dibangun oleh Anak Agung Anglurah Made Karang Asem pada tahun 1744. Beliau adalah seorang Raja yang membesarkan Kerajaan Karangasem di Lombok. Dahulu tempat tersebut yangbernama Kelepuk adalah hutan belantara yang banyak dihuni oleh ular berbisa. Sewaktu akan membangun tempat Mayura, Raja Bali tersebut meminta bantuan kepada Raja Makassar yang kemudian mengirimkan burung merak untuk menakut-nakuti ular di tempat tersebut. Sehingga nama tempat tersebut diganti menjadi Mayora, dalam bahasa sanskerta berarti burung merak. Dalam lidah orang Lombok, berubah menjadi Mayura (dibaca Mayure).
Mayura mempunyai 6 bangunan utama yaitu, Kolam air, Bale Loji
(tempat penyimpanan pusaka), Bale Tunggu, Bale Kambang, Pura Milu Kelepuk, dan
Pura Jagad Nata. Dalam komplek ini tersedia taman-taman yang asri dan enak
digunakan untuk bersantai. Cukup banyak muda-mudi bersantai di sana.
Namun yang menarik adalah bangunan Bale Kambang yang berada
di tengah-tengah kolam air. Di sekitar Bale Kambang ini dihiasi oleh
patung-patung bercirikan orang muslim, yaitu Arab, Muslim Cina, dan Jawa.
patung orang Muslim tersebut berdiri di bagian Barat, Timur dan Utara dari Bale
Kambang berdampingan dengan bangunan linggih yang sangat kental nuansa Hindu
Balinya.
Bangunan Bale kambang adalah bangunan tempat bersidang dan
menerima tamu kerajaan Bali Karangasem dulunya. Kental dengan dengan ciri-ciri
Hindu, termasuk juga ornamen-ornamen di sekitarnya. Diberi nama Bale Kambang,
karena posisinya ditengah-tengah kolam air, seakan mengambang diatas air.
Dahulu juga ada bangunan penjara di sampingnya. Namun sayang besi-besi penjara
tersebut sudah tergerus oleh air dan waktu.
Menurut informasi yang di dapat, keberadaan patung orang
Muslim di antara bangunan Hindu tersebut adalah untuk membuktikan kerukunan di
Lombok sekaligus untuk mengenang bahwa Raja Bali dulu pernah dibantu oleh
Kerajaan Makassar yang muslim. Selain itu juga untuk mengenang bahwa Islam
dibawa masuk ke Lombok oleh orang Makassar, Arab, dan China. Untuk yang dari
China ditenggarai merupakan salah satu anggota rombongan laksamana Ceng Ho,
seorang panglima Muslim dari Cina yang sangat terkenal.
Istana Air Mayura ini menjadi peninggalan sejarah yang selalu mengingatkan kepada kita untuk selalu hidup berdampingan dalam perbedaan dengan saling menghormati dan menghargai.
Istana Air Mayura ini menjadi peninggalan sejarah yang selalu mengingatkan kepada kita untuk selalu hidup berdampingan dalam perbedaan dengan saling menghormati dan menghargai.
3) Wisata Religi
Perjalanan spiritual ini adalah perjalanan persembahyangan
mengunjungi beberapa pura yang merupakan peninggalan kerajaan karangasem
Lombok.
Perjalanan ini diawali dengan mengunjungi Pura Jagatnatha Mayura yang merupakan istana Raja Karangasem Lombok, yang dibangun pada tahun 1744. Istana ini terkenal dengan Bale Kambangnya yang berfungsi sebagai pegadilan pada jamannya. Setelah itu perjalanan spiritual akan dilanjutkan menuju Pura Meru yang dibangun pada tahun 1720 pada jaman penjajahan Belanda. Pura ini juga dijadikan sebagai benteng pertahanan pada waktu menghadapi agresi Belanda ke II. Pada saat agresi Belanda ke II ini salah satu jendral Belanda gugur ditangan para kesatrya bali (Lombok.) jendral Van Ham gugur ditangan para kesatrya bali yang gagah berani. Jendral Van Ham dimakamkan dipemakaman umum umat Hindu di Karang Jangkong Mataram.
Perjalanan ini diawali dengan mengunjungi Pura Jagatnatha Mayura yang merupakan istana Raja Karangasem Lombok, yang dibangun pada tahun 1744. Istana ini terkenal dengan Bale Kambangnya yang berfungsi sebagai pegadilan pada jamannya. Setelah itu perjalanan spiritual akan dilanjutkan menuju Pura Meru yang dibangun pada tahun 1720 pada jaman penjajahan Belanda. Pura ini juga dijadikan sebagai benteng pertahanan pada waktu menghadapi agresi Belanda ke II. Pada saat agresi Belanda ke II ini salah satu jendral Belanda gugur ditangan para kesatrya bali (Lombok.) jendral Van Ham gugur ditangan para kesatrya bali yang gagah berani. Jendral Van Ham dimakamkan dipemakaman umum umat Hindu di Karang Jangkong Mataram.
Perjalanan dilanjutkan menuju pura Kalasa Narmada yang sangat
terkenal dengan Tirtha awet mudanya. Narmada diambil dari salah satu nama
sungai suci di India yang merupakan salah satu anak sungai Gangga. Narmada
merupakan miniature Gunung Rinjani dan dibangun pada tahun 1805 yang oleh raja
pada saat itu digunakan sebagai istana musim kemarau. Pura Kalasa Narmada
sangat erat kaitannya dengan pura Mayura (istananya) dan gunung Rinjani. Karena
waktu raja berkuasa, selalu melakukan upacara pulang pakelem di danau Segara
Anak, tepatnya pada purnamaning sasih kalima (5) untuk memohon hujan pada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dan pada Bhatare Bhatari yang melingga disana. Saat usia
raja semakin lanjut, maka beliau membangun Taman Narmada sebagai miniature
gunung rinjani lengkap dengan miniature danau segara anak.
8. Wisata budaya (Perang Topat, tradisi
pencerminan kerukunan beragama di Lombok)
Sore itu Jumat (12/12/08) ribuan warga Sasak (Lombok) dan umat Hindu berbaur di Pura Lingsar, KecamatanLingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat untuk merayakan “Perang Topat” yakni tradisi saling lempar dengan menggunakan ketupat.
Sore itu Jumat (12/12/08) ribuan warga Sasak (Lombok) dan umat Hindu berbaur di Pura Lingsar, KecamatanLingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat untuk merayakan “Perang Topat” yakni tradisi saling lempar dengan menggunakan ketupat.
Dengan menggunakan pakaian adat ribuan warga Sasak dan umat
Hindu bersama-sama dengan damai merayakan upacara keagamaan yang dirayakan tiap
tahun di Pura Lingsar tepatnya setiap purnama ke-7 menurut kalender Sasak.
Tradisi Perang Topat yang diadakan di Pura terbesar di
Lombok peninggalan kerajaan Karangasem itu merupakan pencerminan dari
kerukunan umat beragama di Lombok. Prosesi Perang Topat dimulai dengan
mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi sebagai
sarana persembahyangan dan prosesi ini didominasi masyarakat Sasak dan beberapa
tokoh umat Hindu yang ada di Lombok. Sarana persembahyangan seperti kebon odek,
sesaji ditempatkan didalam Pura Kemalik.
Prosesi kemudian dilanjutkan dengan perang topat, bertepatan
dengan gugur bunga waru atau dalam bahasa Sasaknya “rorok kembang waru” yakni
menjelang tenggelamnya sinar matahari sekitar pukul 17.30. Perang topat
merupakan rangkaian pelaksanaan upacara pujawali yaitu upacara sebagai ungkapan
rasa syukur umat manusia yang telah diberikan keselamatan, sekaligus memohon
berkah kepada Sang Pencipta. [Foto dan teks: Ahmad Subaidi/ANTARAMataram.com]
7. Lalu
lintas
Pulau Lombok yang berada hanya beberapa mil dari Pulau Bali,
dengan penerbangan hanya 20 menit Anda sudah sampai di Pulau Kayangan atau
sebutan lain dari Pulau Lombok, terdiri dari tiga Kabupaten dan satu Kota Madya
(Mataram) : yaitu Kabupaten Lombok dengan Ibu Kotanya yang baru di Gerung.
Lombok Tengah dengan Ibu Kotanya Praya dan Lombok Timur dengan Ibu Kotanya
Selong.
Airport Selaparang terletak di Mataram, ibu kota provinsi dan
kota terbesar di pulau ini. Berbagai macam maskapai penerbangan beroperasi dari/ke
Denpasar di Bali (25 menit penerbangan). Kapal ferry menghubungkan Pelabuhan
Lembar/Lombok dengan Pelabuhan Padang Bai/Bali dalam waktu 1.5 jam dengan speed
boat atau 4-6 jam dengan ferry normal, bias juga menuju Gili langsung dari
Padang Bai. Taksi dan minivan juga menyediakan transportasi untuk ke semua
tempat di pulau.
Jalan-jalan utama kebanyakan dalam kondisi yang sangat bagus,
karena jalan-jalan kecil sering kali berbahaya untuk mengemudi. Penyewaan motor
dan mobil juga terdapat di pusat pariwisata.
8. Pembagian
administratif pemerintahan
Lombok termasuk provinsi Nusa Tenggara Barat dan pulau ini
sendiri dibagi menjadi empat Daerah Tingkat II:
1.Kota Mataram
2.Kabupaten Lombok Barat
3.Kabupaten Lombok Tengah
4. Kabupaten Lombok Timur
2.Kabupaten Lombok Barat
3.Kabupaten Lombok Tengah
4. Kabupaten Lombok Timur
Geografi, topografi dan
demografi
Selat ombok adalah batas flora dan fauna Asia. Mulai dari
Lombok ke arah timur, flora dan fauna menunjukkan ciri-ciri khas Australia.
Ilmuwan yang pertama kali menyatakan hal ini adalah Alfred Russel Wallace,
seorang Inggris di abad ke-19. Untuk menghormatinya maka batas ini disebut
Garis Wallace.
Topografi pulau ini didominasi oleh gunung berapi Rinjani
yang ketinggiannya adalah 3.726 meter di atas permukaan laut dan membuatnya
yang ketiga tertinggi di Indonesia. Daerah selatan pulau ini adalah sebuah
ladang terbuka bebas yang subur dan ditanami dengan jagung, padi, kopi,
tembakau dan kapas.
Sekitar 80% penduduk pulau ini adalah suku Sasak, sebuah suku
bangsa yang masih dekat dengan suku bangsa Bali, tetapi sebagian besar memeluk
agama Islam. Sisa penduduk adalah orang Bali, Jawa, Tionghoa dan Arab.
9.
Merariq dan Latar Sejarah
Tradsinya
Pulau
Lombok adalah salah satu pulau yang termasuk dalam deretan pulau-pulau
Nusantara yang memanjang dari pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara
lainnya. Ia terletak di sebelah timur pulau Bali dan di sebelah barat pulau
Sumbawa. Bagian utara berbatasan dengan laut Jawa dan sebelah selatan
berbatasan dengan lautan Indonesia. Jumlah penduduknya sekitar 2,5 juta orang
dan luasnya 4.595 km2.
Sasak
merupakan penduduk asli (suku asli) di pulau Lombok, dan bukan dari kelompok
migran yang datang dengan tujuan-tujuan tertentu. Namun dewasa ini, istilah
orang sasak tidak hanya disandarkan kepada penduduk aslinya, akan tetapi
kelompok pendatang (darah campuran) pun juga disebut orang Sasak.
Sasak yang
merupakan penduduk asli pulau Lombok ini merupakan etnik mayoritas yang
berjumlah tidak kurang dari 89% dari keseluruhan penduduk Lombok. Sedangkan
kelompok-kelompok etnik lainnya seperti Bali, Jawa, Arab, dan Cina adalah
pendatang. Orang-orang Sasak menyebar di hampir seluruh daratan Lombok.
Daerah
Lombok bagaikan “laboratorium sosial” yang banyak menyediakan banyak ceriata, menggugah
kesadaran intelektual (intellectual curiosity) banyak pemerhati, dan tak
habis-habis digali dan diarifi. Termasuk tradisi unik yang masih kental di
pulau ini yaitu merarik atau kawin lari.
Inilah
salah satu budaya yang paling popular bagi masyarakat sasak yang membutuhkan
sikap kearifan lokal (local wisdom) bagi masyarakat yang lain. Konsepsi kawin
lari digunakan sebagai kesatuan ritual budaya perkawinan yang dijalankan oleh
masyarakat Sasak. Dalam varian ritual itulah didapatkan adanya konsep memaling
(melarikan gadis) dari pengawasan wali dan lingkungan social di mana si gadis
tinggal.
Dalam adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merari’.
Secara etimologis kata merari’ diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an
berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan
yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’.
Secara terminologis, merari’ mengandung dua arti.
Pertama, lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan
perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk
membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya. Berdasarkan informasi dari nara sumber
tentang sejarah munculnya tradisi kawin lari (merari’) di pulau
Lombok, paling tidak ada dua pandangan yang mengemuka, yaitu: Pertama,
orisinalitas merari’. Kawin lari (merari’) dianggap sebagai
budaya produk lokal dan merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur
masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat-sebelum datangnya
kolonial Bali maupun kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian
masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah
H.Lalu Azhar, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan
peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen,
sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan
dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak,
adalah adat Sasak yang sebenarnya.
Kedua, akulturasi merari’. Kawin lari (merari’)
dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur
masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial
Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori oleh
tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan Guru Haji Saleh Hambali
menghapus, kawin lari (merari’) karena dianggap manifestasi hinduisme
Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang sama dapat dijumpai di desa yang
menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain.
Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali.
Analisis antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya Internal
Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An
Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam bukunya, The
Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip Bartolomew, memperkuat pandangan akulturasi budaya
Bali dan Lombok dalam merari’. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik
kawin lari di Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu
Bali. Berdasarkan kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merari’)
di atas, tampak bahwa paham akulturasi merari’ memiliki tingkat
akurasi lebih valid.
Dalam konteks ini penulis lebih condong kepada pendapat
kedua, yakni merari’ ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat
hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya hindu-Bali terhadap suku
Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa.
Strata sosial ini sudah jelas sama dengan pola hindu-Bali.
Tradisi merari’ ini merupakan bagian dari
kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas
dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang mempengaruhi
kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang dipengaruhl oleh
filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam. Kedua aliran kebudayaan itu
Nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat
kota Mataram dan Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran
Hindu-Bali sebagai sinkretis Hindu-Budha. Golongan
kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan
serta tatanan sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian
besar adalah orang Sasak.
Merari’ sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku
pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi
masyarkat Sasak, merari’ berarti mempertahankan harga diri dan
menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil
[melarikan] seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada isi lain, bagi orang
tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi,
untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa [konvensional],
karena mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga,
jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak
berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m
ngendeng anak manok baen [seperti meminta anak ayam saja]. Jadi
dalam konteks ini, merari’ dipahami sebagai sebuah cara untuk
melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.
Prinsip Dasar Tradisi Merari’
Bedasarkan penelitian M. Nur Yasin setidaknya ada empat
prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (merari) di pulau
Lombok. Pertama, prestise keluarga perempuan. Kawin lari (merari’)
dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat
keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama
sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh
keluarga lelaki atas keluarga perempuan, tetapi justru dianggap sebagai
prestasi keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap
memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang
mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok
bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang
tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina. jika perkawinan
gadisnya tidak dengan kawin lari (merari’).
Kedua, superioritas, lelaki, inferioritas perempuan.
Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merari’)
adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan
kondisi sosial psikologis calon istri.Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka
sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncana-kan
sebelumnya, kawin lari (merari’) tetap memberikan legitimasi yang kuat
atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas,
yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya.
Kesemarakan kawin lari (merari’) memperoleh kontribusi yang besar dari
sikap sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau,bahkan
menikmati suasana inferioritas tersebut.
Ketiga, egalitarianisme.Terjadinya kawin lari (merari’)
menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) di kalangan seluruh keluarga
perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman,
bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen
keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (merari’).
Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat.
Proses penuntasan kawin lari (merari’) tidak selalu berakhir dengan
dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir dengan tidak terjadi
pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak keluarga calon suami
dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah,
sorongserah, dan sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di
antara keluarga dan komponen masyarakat.
Keempat, komersial. Terjadinya kawin lari hampir
selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke. Proses nego berkaitan
dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wall
sangat kenta! dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan
dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan sepanjang acara mbait wali. Ada
indikasi kuatbahwa seorang wah merasa telah membesarkan anakgadisnya sejak
kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang
tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar
biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon
menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang
tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah
tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula
nilai ekonomis yang ditawarkan.
Komersialisasi kawin lari tampak kuat dan tertuntut untuk
selalu dilaksanakan apabila suami istri yang menikah sama sama berasal dari
suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami istri berasal dari luar suku
Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan dilaksanakannya komersialisasi agak
melemah. Hal ini terjadi karena ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya
antara nilai nilai yang dipegangi masyarakat Sasak dengan nilai nilai yang
dipegangi oleh masyarakat luar Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban yang
kemudian menghasilkan kompromi tersebut sama sekali tidak menggambarkan
inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya, budaya dan peradaban Sasak
memiliki kesiapan untuk berdampingan dengan budaya dan peradaban luar Sasak.
Sikap ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Sasak bahwa mulai kebaikan
dan kebenaran dari manapun asal dan datangnya bisa dipahami dan bahkan
diimplementasikan oleh masyarakat Sasak.
Tradisi Merarik (Kawin Lari) Dalam Masyarakat Sasak
Kata kawin lari ( Sasak: melarikan) dalam gramatika bahasa
Sasak dimaknai dan digunakan sebagai kata dengan pengertian yang sama dengan
perkawinan atau pernikahan. Masyarakat Sasak secara umum menggunakan kata
melarikan sebagai identifikasi bagi status perkawinan itu sendiri. Begitu kuat
eksistensi budaya kawin lari ini, sehingga sudah menjadi bahasa baku yang
digunakan sehari-hari oleh masyarakat Sasak di seluruh lapisan soaial. Sampai
disini, terlihat seolah-olah laku budaya kawin lari telah menjadi kearifan lokal
bagi komunitas Sasak.
Fenomena adat perkawinan lari cukup menarik bila ditarik
pada ruang dimensi dan pergulatan tradisi di dalamnya.sebagai entitas local
indegenious yang berkearifan tradisional, secara ideal muatan massif yang harus
ada penunjang idealitas sebuah adat adalah insigh dari nilai adat istiadat itu
sendiri. Kaitannya dengan budaya kawin lari, sebagian masyarakat penganut
system perkawinan ini meyakini dengan menjelaskan bahwa pada umumnya secara
cultural dapat dianggap sebagai cara yang disetujui laki-laki untuk membuktikan
kelaki-lakian mereka sebagai respon terhadap dominasi politik dan ekonomi oleh
kekuatan-kekuatan eksternal. Argument seperti ini lebih pada pilihan katarsis
bagi masyarakat Sasak karena kungkungan imperilisasi, infiltrasi dan aneksasi
dari kekuatan eksternal.
Budaya kawin lari merupakan salah satu dari entitas kultur
tradisional bagi suku bangsa Sasak dari hasil asimilasi dan dialektika
kebudayaan. Penjelasan yang mungkin diberikan dan penunjang popularitas tradisi
ini adalah berkaitan dengan kenyataan bahwa raja-raja Bali pasca aneksasi dan
orang-orang lain yang sangat berkuasa sering mengambil perempuan-perempuan
Sasak segabai gundik. Dengan melihat fenomena waktu itu, antisipasi
keluarga-keluarga Sasak sering mendorong anak wanitanya untuk lari bersama
(melarikan) dengan laki-laki Sasak yang dicintainya. Secara psikologis gerak
antisipatif masyarakat Sasak waktu itu tidak jauh dari upaya mempertahankan
relasi endogamis ketimbang menjadi alat pemuas kekuasaan bagi perempuan Sasak
waktu itu.
Pemangku adat atau masyarakat Sasak umumnya menyatakan bahwa
praktik budaya kawin lari merupakan hasil dari adopsi masyarakat dari praktek
budaya bali. Bedanya adalah kemampuan suku bangsa Sasak untuk membuat inovasi
bagi budaya kawin lari itu sendiri menjadi sebentuk identitas baru kebudayaan
Sasak berdasar pada liminasi otopraksi ajaran Islam. Pada masyarakat Bali, pada
prosesi melarikan gadis secara otomatis menjadi akad perkawinan pada pasangan,
sedangkan pada masyarakt Sasak proses itu hanya menjadi awal rentetan prosesi
dari perkawinan itu, karena pelaksanaan akad nikah secara Islam menjadi
keharusan untuk dilaksanakan. Senada dengan itu juga, masyrakak Sasak
menjalankan setiap rentetan seremoni perkawinan dilaksanakan dengan penuh
khidmat dalam bingkai keIslaman (M. Taisir, 2001: 45).
Popularitas kawin lari dengan pelarian-pelarian terkesan
menjadi sebentuk simflikasi pilihan dalam sikap yang menggunakan legalitas adat
sebagai instrument pencapaian keingina. Karena pilihan yang lain seperti
perkawinan dengan meminang atau belako’ terkadang cukup memberatkan dan
membutuhkan modal dan kesiapan psikologis yang harus ditanggung oleh calon
mempelai pria. Kemungkinan lamaran ditolak dan ntidak disetujui oleh wali
perempuan, perbedaan status social (kafa’ah), syarat-syarat persetujuan
dan lainnya yang harus dipenuhi oleh pelamar tidak kalah sering terasa
memberatkan pihak laki-laki, maka lari bersama menjadi pilihan tepat bagi satu
pasangan. Di samping mudah dalam penyelesaian masalah-masalah dalam proses
perkawinan, juga mempermudah persetujuan wali (bila tidak ada ketentuan adat
yang mengikat). Hal ini disebabkan karena adat dalam perkawinan Sasak bila
kedua pasangan sudah melarika diri akan menjadi keharusan bagi pihak wali
perempuan u8ntuk menyetujuinya. Bila tidak akan menjadi aib bagi keluarga yang
dikesankan menyalahi adat.
Fenomena merari’ diasumsikan sebagai puncak etis wujud
kearifan lokal bagi masyarakat Sasak secara ekskusif. Muatan immanen dari sisi
ini adalah keterlibatan keyakinan akan kebenarannya. Namun di samping
kesan-kesan positif di dalamnya tidak jarang praktek perkawinan lari ini
menyisakan persoalan-persoalan yang mengancam keutuhan keluarga baik secara
sosiologis maupun psikologis. Salah satu persoalan yang muncul adalah konflik
yang terjadi pada rumah tangga yang pada ahkirnya memunculkan tindakan
kekerasan dan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan di dalam rumah
tangga.
Sisi Positif Tradisi Merari’
Sikap “heroik” (kepahlawanan) merupakan salah satu alasan mengapa
tradisi melarikan (melaian) dipertahankan dalam perkawinan dengan kekuatan adat
di Lombok. Sikap demikian menurut masyarakat Lombok merupakan sesuatu yang
mutlak diperlukan apabila berkeinginan untuk membina rumah tangga dengan calon
mempelai perempuan yang sudah diidam-idamkan. Dari sisi spirit “heroisme”
tersebut sesungguhnya memiliki relevansi yang sangat erat dengan ajaran Islam.
Islam senantiasa mengajarkan agar dua pihak yang ingin menikah hendaklah
didasari oleh perasaan yang kuat untuk saling memiliki. Hanya saja perasaan
tersebut tidak harus ditunjukkan dengan cara melarikan gadis sebagai calon
isteri. Bandingkan dengan beberapa ayat atau hadis yang berkaitan dengan
anjuran menikah.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa: “Manistatha’a min
kum al-ba’at fa al-yatazawwaj” (Barang siapa yang telah mampu untuk
menunai-kan nafkah kepada calon isterinya, maka hendaklah menikah). Mampu di sini diartikan mampu lahir maupun
bathin, maka hendaklah mengajak calon isterinya menikah dengan cara yang
diajarkan oleh Islam, yakni calon mempelai perempuan). Dalam Qs. al-Nisa (4): 4
disebutkan bahwa: ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Ayat ini dapat pula dianggap
sebagai tanda kesiapan seorang calon suami untuk menikahi seorang perempuan.
Sekali lagi kesiapan atau keberanian untuk menikah daiam Islam harus dilakukan
dengan sikap yang mencerminkan kesiapan mental maupun material, bukan sikap
berani melarikan anak perempuan orang lain hanya karena merasa mampu melarikan
perempuan tanpa sepengetahuan keluarganya.
Tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang
paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan. Pisuke
sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada
kerelaan keluarga kedua belah pihak. Demikian juga.acara nyongkolan merupakan
sarana pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi
Muhammad saw. Hanya saja dalam kasus tertentu terjadi penyelewenagn oleh
oknum pada acara nyongkolan yang menyebabkan terjadinya
perkelaian, mabuk-mabukan dengan minuman keras dan meninggalkan sholat, maka
perilaku inilah yang perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya,
orang Sasak lah yang banyak melanggar aturan/adat Sasak itu sendiri. Hal ini
bisa dilihat dari substansi buku yang ditulis oleh Gde Suparman.
Saat ini ada beberapa parktek adat yang telah mengalami
metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif
merari’ ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat
lain di Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Perubahan ini
memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh
warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain.
Sisi Negatif Tradisi Merari’
Dalam banyak aspek
(ranah) kehidupan.ternyata perempuan Sasak masih sangat marginal (inferior),
sementara kaum laki-lakinya sangat superior. Marginalisasi perempuan dan
superioritas laki-laki memang merupakan persoalan lama dan termasuk bagian dari
peninggalan sejarah masa lalu. Sejak lahir perempuan Sasak mulai
disubordinatkan sebagai orang yang disiapkan menjadi isteri calon suaminya
kelak dengan anggapan “ja’ne lalo/ja’ne tebait si’ semamenne” (suatu
saat akan meninggalkan orang tua diambil dan dimiliki suaminya). Sementara,
kelahiran seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan dikenal
dengan istilah “anak prangge” (anak pewaris tahta orang tuanya).
Begitu juga tradisi perkawinan Sasak, seakan-akan
memposisikan perempuan sebagai barang dagangan. Hal ini terlihat dari awal
proses perkawinan, yaitu dengan dilarikannya seorang perempuan yang dilanjutkan
dengan adanya tawar menawar uang pisuke (jaminan).
Menurut penuturan Muslihun Muslim, dosen IAIN Mataram,
terdapat 9 bentuk superioritas suami sebagai dampak dari tradisi perkawinan
adat Sasak (merari’) sebagai berikut: (1) terjadinya perilaku atau
sikap yang otoriter oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga; (2)
terbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri dan dianggap tabu jika lelaki
(suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik; (3) perempuan karier juga tetap
diharuskan dapat mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya
di luar rumah dalam memenuhi ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda); (4)
terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas yang cukup
besar di Lombok; (5) terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi
laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain; (6) kalau
terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya
tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika
terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya; (7)
nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke;
(8) kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir dari
rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah
hukum atau nyerah mayung sebungkul; (9) jarang dikenal ada pembagian harta
bersama, harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta
warisan, sehingga betapa banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup
dari belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.
Tahapan-Tahapan Perkawinan Masyarakat Sasak
Seperti masyarakat Hindu-Bali, masyarakat Sasak mengenal merari’
(kawin lari) sebagai tradisi yang mengawali perkawinan, bukannya melamar
melamar seorang gadis melalui orang tuanya. Kawinlari melibatkan pertemuan
rahasia dengan si gadis dan membawanya kabur di malam hari menuju nsuatu tempat
persembunyian. Calon mempelai wanita menyelinap keluar dari rumah orang tuanya
seperti sudah direncanakan sebelumnya dan si mempelai pria biasanya disertai
oleh kerabat atau kawan-kawanya. Pada beberapaq kasus, mempelai pria tetap
tinggal di rumah dan menyuruh perantaranya yang terpercaya untuk menculikkan
wanita yang dimaksud untuknya. Penculikan ini dianggap sudah berhasil bila
mempelai wanita dan pria menyembunyikan diri di suatu tempat rahasia (penyebuan),
biasanya di rumah salah seorang kerabat patrilateral calon mempelai
pria.
Menyadari bahwa anak gadis mereka tidak pulang hingga larut
malam (menurut sebagian adat sekitar dari jam 22-esok harinya), orang tua gadis
tersebut mengirim seorang pejati (kurir) untuk melaporkan kasus tersebut
pada kepala dusun (klian dusun) mereka yang mengumumkan kasus ini lebih
lanjut ke seluruh penjuuru desa, klian dusun juga meminta penduduk untuk
memberi tahu dirinya atau orang tua si gadis jika mereka mengetahui di mana si
gadis disembunyikan. Hari berikutnya beberapa orang yang mewakili mempelai pria
mengirim pesan untuk memberitahukan penculikan itu kepada klian dusun mereka
yang meneruskan informasi itu ke klian dusun orang tua si gadis. Kedua klian
dusun ini, disertai oleh kerabat laki-laki mempelai pria, bersama-sama
mendatangi orang tua mempelai wanita dan memberitahukan mereka (nyelabar)
bahwa anaknya merari, (dilarikan) dan barada di tempat yang aman.
Setelah itu klian dusun dan wakil mempelai laki-laki
kembali mendatangi orang tua mempelai perempuan disertai dengan didatangkannya
klian dusun perempuan untuk membahas kapan putra putri mereka akan dinikahkan (ijab
qabul) menurut ketentuan akad nikah dalam Islam. Setelah waktu akad nikah
sudah ditentukan, maka kedua klian dusun beserta wakil dari mempelai
laki-laki ini pulang dengan membawakan kabar tersebut bagi semua masyarakat
setempat. Begitupun di desa mempelai perempuan, para sesepuh atau klian dusun
ini memberitahukan kepada warganya tentang waktu akad nikah yang telah
disepakati.
Ketika waktu akad nikah telah tiba, orang tua mempelai
perempuan beserta sesepuh dusunnya datang kerumah mempelai pria untuk
melangsungkan proses akad nikah, dan biasanya akad nikah ini dilakukan di
masjid atau di rumah mempelai pria sendiri. Proses akad nikah ini merupakan hal
yang penting di antara prosesi yang lain di dalam perkawinan masyarakat Sasak.
Karena hanya dengan akad inilah status kedua pengantin tersebut sah di mata
agama dan di masyarakat social Lombok secara khusus. Akad nikah dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan dalam Islam seperti wali dari pihak perempuan, ijb
qabul, saksi, mahar dan sebagainya. Berbeda dalam adat Islam Wetu Telu
(masyarakat minoritas di Lombok) yang bertindak sebagai wali dalam pernikahan
adalah orang tua mempelai laki-laki (Zaki Yamani Athar: 2005: 82). Akad nikah
inipun di daftar di kantor Urusan Agama, sehingga status pernikahan tersebut
juga sah di mata hukum di Indonesia.
Dalam akad nikah ini biasanya disaksikan oleh banyak orang
terutama para sesepuh dusun serta para undangan internal dari dusun mempelai
laki-laki, sedangkan orang-orang yang datang dari keluarga mempelai perempuan
tidak terlalu banyak, mengingat tempat acara akad nikah ini adalah di tempat mempelai
pria. Setelah prosesi akad sudah selesai,
para undangan dan yang hadir disana dipersilahkan untuk makan atau menikmati
hidangan yang telah disiapkan sebagai bentuk syukuran dalam proses akad nikah
tersebut. Proses ini bukanlah akhir dari proses pernikahan di masyrakat Sasak,
melainkan ada lagi proses yang dinamakan nyongkolan (seremonial
pengantin), dalam Islam disebut walimatul ‘ursy.
Selang beberapa hari setelah proses akad nikah dilaksanakan,
sesepuh dusun atau para wakil dari mempelai perempuan datang menemui keluarga
untuk merundingkan pesuke (uang yang akan diberikan keluarga laki-laki
kepada keluarga perempuan). Dalam masyrakat Sasak uang pesuke ini
berbeda-beda di tiap-tiap daerah. Dan uang pesuke ini merupakan kesepakatan
masyarakat yang telah di atur di tiap-tiap daerah tersebut agar tidak terjadi
perbedaan pandangan dalam pengambilan pesuke bagi keluarga lain dalam
daerah tersebut. Namun biasanya pesuke ini bisa di toleransi sesuai
kesepakatan kedua belah pihak melalui dialektika adat yang terjadi di
masyarakat Lombok. Biasanya kalau perempuan yang dinikahi tersebut banyak
membawa barang-barang mewah kerumah calon suaminya, atau perempuan itu telah
menempuh pendidikan yang lebih tinggi seperti S1, S2 dan sebaginya, maka pesuke
yang diberikan juga akan lebih banyak sesuai kreteria tadi. Namun demikian, ada
juga masyarakat yang tetap berpegang pada kesepakatan awal yang telah diatur
dalam masyrakat sendiri.
Setelah ada kesepakatan berapa uang pesuke yang akan
diberikan keluarga mempelai laki-laki, maka sesepuh dusun dan atau wakil
mempelai laki-laki ini pulang untuk kembali membahas kapan acara nyongkolan
(seremonila pernikahan) ini dilaksanakan. Keesokan harinya wakil dari mempelai
laki-laki ini kembali datang ke rumah keluarga mempelai laki-laki dan
menyerahkan uang pesuke sesuai dengan yang telah disepakati. Sebenarnya
dalam proses penetapan pesuke ini biasanya terjadi proses tawar menawar
jumlah uang pesuke yang akan diserahkan. Umumnya dari pihak keluarga
perempuan membuat ketentuan yang lebih tinggi, lalu keluarga laki-laki menawar
dengan yang lebih murah. Namun hal ini tidak menjadi persoalan karena kedua
belah pihak sudah tahu adat masing-masing termasuk dalam aturan uang pesuke
ini.
Bila telah selesai menyerahkan uang tersebut, maka dibicarakanlah
kapan akan dilaksanakannya acara nyongkolan (seremonial). Karena dalam
masyarakat Sasak acara ini dilaksanakan oleh kedua keluarga mempelai dalam
waktu yang sama di rumah masing-masing. Hal demikian dilakukan karena acara ini
tidaklah acara sederhana dimana setelah selesai makan lalu pulang. Akan tetapi
dalam acara nyongkolan ini kedua keluarga mempelai akan mempersiapkan
segala macam prosesi nyongkolan. Keluarga laki-laki akan mempersiapkan
kedua mempelai untuk mengunjung keluarga perempuan sebagai tanda serah terima
diantara kedua belah pihak.
Dalam prosesi nyongkolan ini,
keluarga laki-laki mengundang seluruh keluarga atau karib kerabat untuk
menghadiri acara nyongkolan itu, begitu juga dengan keluarga perempuan,
mereka mengundang seluruh karib kerabat dan keluarganya untuk menghadiri acara nyongkolan
anak gadisnya. Dan biasanya acara nyongkolan dari pihak perempuan dinamakan nanggep.
Yaitu acara seremonial yang diadakan dirumah keluarga mempelai perempuan karena
akan menyambut kedatangan pengantin mereka untuk serah terima ( surung serah).
Dalam acara nyongkolan ini, persiapan makanan untuk
undangan biasanya dilakukan bersama-sama. Jarang acara tersebut menggunakan
catering sebagai prosesi itu kecuali daerah perkotaan dan orang kaya yang lebih
senang ala kota. Setelah selesai makan-makan, biasanya sampai jam 11.30 atau
sampai jam 12.00 wita, keluarga laki-laki lalu mempersipkan kedua mempelai
untuk dirias dengan secantik dan setampan mungkin disertai dengan baju adat
yang ada di daerah tersebut. Setelah siap,kedua mempelai, keluarga dan
masyarakat di desa itu berangkat ke rumah keluarga perempuan dengan di iringi
gamelan atau alat kesenian di Lombok. Sementara dari pihak keluarga perempuan
juga bersiap-siap menyambut kedatangan pengantin mereka dengan disambut oleb
berbagai alat music yang ada.
Dalam acara nyongkolan inil juga sesepuh atau wakil
dari kedua keluarga tersebut mengadakan serah terima (surung serah)
sebagai tanda bahwa mereka telah sama-sama menyerahkan anak-anak mereka
menikah. Biasanya acara surung serah ini dilakukan ketika pengantin laki-laki
dan perempuan masih bersiap-sioap dan belum berangkat ke rumah keluarga
perempuan. Inilah saatnya para sesepuh atau wakil pengantin laki-laki datang
dan disembut oleh sesepuh atau wakil dari keluarga perempuan untuk sama-sama
serah terima (surung serah) tersebut.
Demikinlah prosesi acara nyongkolan itu, dan sehari
setelah nyongkolan pengantin laki-laki dan perempuan beserta keluarga
mengunjung kembali keluarga perempuan untuk balas kaki (balas nae)
sebagai perpisahan terakhir dari pengantin perempuan kepada kedua orang tuanya,
karena pengantin perempuan akan mengikuti kemana suaminya tinggal nanti. Semua tahapan-tahapan perkawinan masyarakat Sasak tersebut
dilakukan oleh mayoritas masyarakat di Lombok, kecuali di beberapa daerah
minoritas seperti di sebagian masyarakat Islam Wetu Telu di Bayan,
Lombok Barat.
Inilah Kawin Lari ala Suku Sasak-Lombok NTB, jika anda Anda di Lombok dan ingin menikah
curilah anak gadis itu, bawa lari tanpa sepengetahuan keluarganya, bila sehari
semalam tidak ada kabar maka dianggap gadis itu telah menikah! Mencuri untuk menikah lebih kesatria
dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Namun ada aturan dalam mencuri gadis
di suku asli di Pulau Lombok.
Memang
cukup unik dari suku Sasak penduduk asli warga di Pulau Lombok Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Untuk urusan perjodahan suku ini menyerahkan semuanya pada anak,
bila keduanya sudah saling suka, tidak perlu menunggu lama untuk menikah, curi
saja anak gadis itu, pasti menikah. mencuri anak gadis itu lebih diterima
keluarganya. Merarik istilah bahasa setempat untuk menyebutkan proses
pernikahan dengan cara dicuri. Caranya cukup sederhana, jika keduanya saling
menyukai dan tidak ada paksaan dari pihak lain, gadis pujaan itu tidak perlu
memberitahukan kepada kedua orangtuanya. Bila ingin menikah langsung aja bawa
gadis itu pergi dan tidak perlu izin.Mencuri gadis dengan melarikan dari rumah
menjadi prosesi pernikahan yang lebih terhormat dibandingkan meminta kepada
orang tuanya. Ada rasa kesatria yang tertanam jika proses ini dilalui. Terlebih
lagi kelas bangsawan yang di sana menyandang gelar Lalu dan Raden. Namun Jangan
lupa aturan, mencuri gadis dan melarikannya biasanya dilakukan dengan membawa
beberapa orang kerabat atau teman. Selain sebagai saksi kerabat yang dibawa
untuk mencuri gadis itu sekalian sebagai pengiring dalam prosesi itu.
Dan gadis itu tidak boleh dibawa langsung ke rumah lelaki,
harus dititipkan ke kerabat laki-laki. Setelah sehari menginap pihak kerabat
laki-laki mengirim utusan ke pihak keluarga perempuan sebagai pemebritahuan
nahwa anak gadisnya dicuri dan kini berada di satu tempat tetapi tempat
menyembunyikan gadis itu dirahasiakan, tidak boleh ketahuan keluarga perempuan.
Nyelabar, Istilah bahasa setempat untuk pemberitahuan itu, dan itu
dilakukan oleh kerabat pihak lelaki tetapi orangtua pihak lelaki tidak diboleh
ikut. Rombongan Nyelabar terdiri lebih dari 5 orang dan wajib mengenakan
berpakaian adat. Rombongan tidak boleh langsung datang kekeluarga
perempuan.Rombongan terlebih dahulu meminta izin pada Kliang atau tetua adat
setempat, sekedar rasa penghormatan kepada kliang, datang pun ada aturan
rombongan tidak diperkenankan masuk ke rumah pihak gadis. Mereka duduk bersila
dihalaman depan, satu utusan dari rombongan itu yang nantinya sebagai juru
bicara menyampaikan pemberitahuan. Memang unik budaya yang ada di Suku Sasak
namun kini ada pergeseran budaya Merarik, seperti adanya prosesi meminta kepada
orangtua dan bertunangan yang sebelumnya kurang dikenal oleh suku sasak. Tetapi
seiring berkembangnya budaya luar dari masyarakat perantau yang datang dan
menetap Akulturasi Budaya mulai terjadi. Lahirlah istilah sudah menikah tetapi
belum nikah adat. Artinya prosesi menikah itu dilakukan dengan cara meminang
tetapi belum menikah secara Merarik, mencurinya dari rumah si Perempuan. Ini
Akulturasi Budaya yang muncul, meminang dan mencuri anak gadis prosesi nikan
yang dujalankan bersamaan.
Dengan demikian
maka muncullah istilah “Kawin
Lari Satu Kesatria Lelaki Lombok” Sejak kebelakangan ini kerapkali gadis Malaysia dilarikan ke
Lombok.Itulah bahan pekerja asing ke Malaysia yang turut membawa budaya mereka.
Bagi masyarakat kepulauan Lombok ia menandakan keperwiraaan lelaki Lombok. Lelaki Malaysia juga boleh membawa
lari gadis Lombok untuk dikahwini. Ia bukan menjadi kesalahan di Lombok, kerana
itu adalah adat budaya mereka. Kahwin lari memang satu taboo bagi masyarakat
Melayu Malaysia, namun ia menjadi kebangaan bagi masyarakat Lombok.
Ia
tradisi dan budaya kaum Sasak di Lombok.Mereka bangga berbuat demikian.
(Kebetulan saya pernah ke Lombok dan baru-baru ini bertemu rakan saya, Gan,
yang sudah menetap di Lombok yang menceritakan hal kahwin lari di Lombok...
kebetulan pula ada kisah pelakon Bella dibawa lari dan kahwin di Lombok), Lombok mempunyai lebih 3 juta
penduduk. Ia merupakan sebuah pulau yang terpisah oleh selat Lombok dengan Bali
dan Sumbawa. Ibu negerinya ialah Mataram. Lombok juga terkenal sebagai pulau
seribu masjid, iaitu masjid dibina berdekatan dalam sesebuah kawasan.
Adat'
kahwin lari itu masih begitu kuat dipegang dan diwarisi dari generasi ke
generasi sejak ratusan tahun dahulu. Kalau anda ke Lombok dan ingin menikah...
curilah anak gadis itu, bawa lari tanpa pengetahuan keluarganya, bila sehari
semalam tidak ada kabar maka dianggap gadis itu telah menikah! Mencuri untuk menikah lebih kesatria
dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Namun ada aturan dalam mencuri gadis
di suku asli di Pulau Lombok. Memang
cukup unik suku Sasak ini. Untuk urusan perjodohan, suku ini menyerahkan
semuanya pada anak, bila keduanya sudah suka menyukai, larikan atau curi saja
anak gadis itu, pasti menikah.
Mencuri
anak gadis itu lebih diterima keluarganya. Mengikut istilah setempat, ia
disebut merarik iaitu proses pernikahan dengan cara dicuri.
Caranya cukup mudah, jika keduanya saling menyukai dan tiada paksaan, gadis
pujaan itu tidak perlu memberitahu orangtuanya. Bila ingin menikah gadis itu
dibawa pergi tanpa izin. Prosesi pernikahan ini lebih terhormat berbanding
dengan meminta daripada orang tuanya.
Ada
rasa kesatria yang tertanam jika proses ini dilalui. Terlebih lagi kelas
bangsawan yang di sana menyandang gelar Lalu dan Raden. Namun Jangan lupa
aturan, mencuri gadis dan melarikannya biasanya dilakukan dengan membawa beberapa
orang kerabat atau teman. Selain sebagai saksi kerabat yang dibawa untuk
mencuri gadis itu sekalian sebagai pengiring dalam proses itu.
Dan
gadis itu tidak boleh dibawa langsung ke rumah lelaki. Setelah sehari menginap
pihak kerabat laki-laki mengirim utusan ke pihak keluarga perempuan memaklumkan
bahawa anak gadisnya dicuri dan kini berada di satu tempat yang dirahsiakan.
Nyelabar, istilah bahasa setempat untuk pemberitahuan itu, dan itu dilakukan
oleh kerabat pihak lelaki tetapi orangtua pihak lelaki tidak diboleh ikut.
Rombongan Nyelabar terdiri lebih dari 5 orang dan wajib berpakaian adat.
Rombongan tidak boleh langsung datang kekeluarga perempuan.Rombongan terlebih
dahulu meminta izin pada Kliang atau tetua adat setempat. Rombongan tidak
diperkenankan masuk ke rumah pihak gadis. Mereka duduk bersila di halaman
depan, satu utusan dari rombongan itu yang nantinya sebagai juru bicara
menyampaikan pemberitahuan.
Begitulah budaya sasak di Lombok. "Persilakan ke Lombok, kalau bapak kepingin menambah calon isteri," kata Gan yang sudah dua tahun mengusahakan kayu gaharu di Lombok.
Begitulah budaya sasak di Lombok. "Persilakan ke Lombok, kalau bapak kepingin menambah calon isteri," kata Gan yang sudah dua tahun mengusahakan kayu gaharu di Lombok.
"Kalau
sudah berkenan, bawa lari aje," kata Gan. Begitulah yang terjadi pada pelakon remaja, ,Salsabila
Yunan, 15, yang dilarikan ke Lombok, pada Ogos tahun lalu. Beliau yang dikenali
sebagai Bella kembali ke tanah air semalam. Bella yang mengandung lima bulan tidak ditemani suaminya.
Dan suaminya mengizinkan Bella pulang menemui bapanya di sini kerana suaminya
merasakan bahawa beliau sekadar melakukan proses adatnya. Namun pemuda Lombok ini ada
kekurangannya... iye pak.. suka lepak.
"Merariq dan Latar Sejarah
Tradsinya" Dalam adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merari’.
Secara etimologis kata merari’ diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an
berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan
yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’.
Secara terminologis, merari’ mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah
arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat
Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan
orang tua serta keluarganya. Berdasarkan informasi dari nara sumber tentang
sejarah munculnya tradisi kawin lari (merari’) di pulau Lombok, paling tidak ada
dua pandangan yang mengemuka, yaitu: Pertama, orisinalitas merari’. Kawin lari
(merari’) dianggap sebagai budaya produk lokal dan merupakan ritual asli
(genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan oleh
masyarakat-sebelum datangnya kolonial Bali maupun kolonial Belanda.
Pendapat ini didukung oleh sebagian
masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah
H.Lalu Azhar, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan
peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen,
sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan
dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak,
adalah adat Sasak yang sebenarnya. Kedua, akulturasi merari’. Kawin lari
(merari’) dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur
masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial
Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori oleh
tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan Guru Haji Saleh
Hambali menghapus, kawin lari (merari’) karena dianggap manifestasi hinduisme
Bali dan tidak sesuai dengan Islam.
Hal yang sama dapat dijumpai di desa
yang menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan
lain-lain. Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari
budaya Bali. Analisis antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz
dalam bukunya Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam,
tulisannya An Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam
bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip
Bartolomew, memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok dalam
merari’. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok merupakan
pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali. Berdasarkan kedua argumen
tentang sejarah kawin lari (merari’) di atas, tampak bahwa paham akulturasi
merari’ memiliki tingkat akurasi lebih valid.
Dalam konteks ini penulis lebih condong
kepada pendapat kedua, yakni merari’ ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat
hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya hindu-Bali terhadap suku
Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa.
Strata sosial ini sudah jelas sama dengan pola hindu- Bali. Tradisi merari’ ini
merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat
Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran
utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa
yang dipengaruhl oleh filsafat Hindu- Budha dan tradisi kebudayaan Islam.
Kedua aliran kebudayaan itu Nampak jelas
pada kebudayaan orang Lombok. Golongan pertama, di pusat- pusat kota Mataram
dan Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali
sebagai sinkretis Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk
Lombok, beragama Islam dan peri- kehidupan serta tatanan sosial budayanya
dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang Sasak.
Merari’ sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini
memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat Sasak, merari’ berarti
mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria
Sasak, karena ia berhasil mengambil [melarikan] seorang gadis pujaan hatinya.
Sementara pada isi lain, bagi orang tua
gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi, untuk
memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa [konvensional], karena
mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika
diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga.
Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok
baen [seperti meminta anak ayam saja]. Jadi dalam konteks ini, merari’ dipahami
sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk
keluar dari konflik.
Rengganis, 1/10_Upacara perkawinan di
Lombok pada umumnya memiliki keunikan dibandingkan dengan upacara adat di
tempat yang lainya, karena memiliki proses yang cukup panjang. Adat perkawinan
lombok dikaitkan dengan upacara sorong serah aji krama. Seorang pemuda (terune)
dapat memperoleh seorang istri berdasarkan adat dengan dua cara yaitu dengan
soloh (meminang kepada keluarga si gadis). Yang kedua dengan adat merariq
(melarikan si gadis), dimana pihak pria (terune) mengambil wanita (dedare) yang
akan dinikahi ke rumah pihak pria tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Setelah salah satu cara sudah dilakukan,
maka keluarga pria akan melakukan tata cara perkawinan sesuai dengan adat
sasak. Proses ini kemudian akan diikuti dengan “Mesejati” dimana kepala dusun
(keliang) akan memberitahukan kepada keluarga perempuan perihal dibawanya anak
perempuan tersebut oleh seorang laki-laki yang tinggal di dusunnya.
Selang maksimal tiga hari kemudian,
dilanjutkan dengan proses “beselabar” dimana kadus dan keluarga pihak laki-laki
menemui keluarga pihak perempuan untuk meminta ijin melangsungkan upacara
pernikahan. Pembicaraan adat istiadatnya meliputi aji kerama yang dalam proses
ini dibicarakan tentang “uang perari” yang merupakan uang yang diminta oleh
calon pengantin perempuan sebelum dilarikan. Jika belum ada permintaan “uang
perari” sebelumnya, maka orang tua perempuan memintakan “uang perari” sekaligus
“uang pisuke” yang dijadikan sebagai jaminan dan biaya penyelenggaraan pesta.
Jika semua permintaan
keluarga pengantin perempuan telah disetujui pada saat “beselabar”, maka
prosesi selanjutnya adalah “bait wali” dimana pihak pengantin laki-laki
mengirimkan utusan dari pemuka agama untuk menyampaikan salam dari calon pengatin
perempuan untuk orang tuanya agar datang untuk menikahkanya. Jika disetujui,
maka orang tua perempuan akan datang sendiri dan keluarganya, namun jika tidak,
maka orang tuanya menyerahkanya kepada utusan tersebut untuk menjadi wali nikah
pengantin perempuan. Pada proses inilah kemudian dilangsungkan “ijab qabul”.
Jika keseluruhan proses “bait wali” telah selesai, maka dilanjutkan dengan
upacara “sorong serah”.
Acara Sorong Serah Aji Krame adalah salah satu acara paling
penting dalam rangkaian upacara adat perkawinan sasak. Waktu
penyelenggaraan biasanya pada siang hari sesudah zuhur sebelum ashar yang di
sebut Galeng Raraq Kembang Waru. Pada acara sorong serah ini pihak laki – laki
mengirim rombongan yang terdiri dari 20 sampai 30 orang untuk mendatangi
keluarga pihak perempuan dengan membawa harta benda yang dinamakan gegawan.
Para pembawa gegawan dari pihak laki – laki biasa disebut
penyorong sedangkan pihak perempuan yang menerima gegawan adalah penanggap.
Upacara Sorong Serah Aji Krame sangat kaya dengan simbol – simbol yang
tercermin baik dalam tata upacara maupun perlengkapan yang dibawa, berupa uang
dan benda – benda simbolik lainnya.
Kesemuanya itu diwujudkan dalam 8 komponen yaitu 1.
Sesirah(dalam istilah Sasak di sebut Otak Dowe atau Juru Dowe yang berarti
otak, kepala atau induk Aji Krame dan perangkat Sorong Serah lainya). 2.
Aji Krame (terdiri dari Napak Lemah dan olen – olen). 3. Sasuni Taring Urip
(terdiri dari Salin Dedeng, Penjaruman dan Pemecat Sengkag). 4. Pikoliling Urip
/ Warga (terdiri dari Pelengkak dan Kao Tindok). 5. Pikoliling Desa (terdiri
dari Babas Kuta, Krame Desa dan Kor Jiwa). 6. Kedosan ( Denda – denda ). 7.
Pemegat ( Pamungkas Wicara ). 8.Rombong ( Simbol dukungan
masyarakat agar mempelai mampu hidup mandiri).
Di dalam proses sorong serah, dikenal dengan nama “bewacan”
yang merupakan debat dalam bahasa Bali antara utusan pengantin pria
dengan keluarga pengantin perempuan. Setelah pihak rombongan pengantin pria
dipersilahkan datang oleh keluarga perempuan, barulah keluarga mempelai
laki-laki datang ke rumah keluarga perempuan disertai berbagai perlengkapan
adat dan tata cara penyambutanya. Di dalam acara sorong serah ini
dipertunjukkan kesenian khas Lombok yaitu “gendang belek” yang merupakan alat
musik tradisional Lombok, namun iramanya hampir menyerupai irama lagu Bali.
Kebudayaan Lombok memiliki kedekatan kebudayaan dengan Bali,
karena pernah di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Karangesem Bali pada tahun
1720 M. Upacara sorong serah ini dapat dijadikan sebagai alternatif
tujuan wisata karena menampilkan berbagai kesenian dan pakaian adat khas
Lombok.
10.
Penutup
Demikianlah penjelasan singkat mengenai asal usul dan apa
saja yang menyangkut kehidupan masyarakat di Pulau Lombok. Semua data yang ada
dalam tulisan ini masih jauh dari sempurna. Semua dikarenakan keterbatasan data
dan informasi yang di dapatkan. Untuk itu kami sangat mengharapkan dukungan
informasi dari para pembaca sekalian sebagai bahan masukan dan koreksi. Dengan
harapan bahwa sejarah masa lalu dari pulau Lombok ini menjadi kian jelas dan
bisa lebih membangkitkan kecintaan setiap generasi muda Indonesia, khususnya
putra-putri Lombok.
Sejarah suku Sasak Lombok ditandai dengan silih bergantinya
berbagai dominasi kekuasaan di pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain
membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khazanah kebudayaan Sasak. Hal ini
sebagai bentuk dari pertemuan (difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan.
Oleh karenanya tidak berlebihan, jika Lombok dikatakan sebagai potret sebuah
mozaik. Ada banyak warna budaya dan nilai menyeruak di masyarakatnya. Mozaik
ini terjadi antara lain karena Lombok masa lalu adalah merupakan objek
perebutan dominasi berbagai budaya dan nilai. Dalam konteks ini paling tidak
ada empat budaya yang paling signifikan mendominasi dan mempengaruhi
perkembangan dinamika pulau ini, yaitu: 1) pengaruh Hindu Jawa; 2) pengaruh
Hindu Bali; 3) pengaruh Islam; dan 4) pengaruh kolonialisme Belanda dan Jepang.
Konversi orang ke dalam Islam sangat berkaitan erat dengan
kenyataan adanya penaklukan dari kekuatan luar. Berbagai kekuatan asing yang
menaklukkan Lombok selama berabad-abad sangat menentukan cara orang Sasak
menyerap pengaruh-pengaruh luar tersebut. Lebih lanjut, dalam konteks
masyarakat Sasak Lombok, Islam merupakan rujukan utama dan lensa ideologis
dalam memahami dan mengevaluasi perubahan. Islam mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menghadapi perubahan, dan akulturasi budaya dalam kehidupan
sosial mereka.
Demikianlah merari’ dengan pernak pernik budaya akulturasinya
telah memberi warna parokialitas pada tradisi masyarakat Sasak Lombok. Lebih
jauh, akulturasi Islam dan budaya diharapkan mampu melakukan secara simultan
langkah invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif untuk menemukan,
merekonsiliasi, dan mengkomunikasikan serta menghasilkan konstruksi-konstruksi
baru. Konstruksi tersebut tidak harus merupakan pembaruan secara total atau
kembali ke tradisi leluhur masa lalu secara total pula, namun pembaruan yang
dimaksud di sini adalah pembaruan terbatas sesuai dengan prinsip al-âdah
muhakkamah. Jadi, sebuah invensi dalam konteks pribumisasi
Islam tidak dimaksudkan menemukan tradisi atau autentisitas secara literal,
melainkan bagaimana tradisi-tradisi lokal itu menjadi sesuatu yang dapat
berdialektika dan dimodifikasi ulang sesuai dengan konteks dimensi ruang dan
waktu sesuai dengan kaidah taghayyur al-ahkâm bi
at-taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl. Pribumisasi
Islam, dengan demikian merupakan proses yang tidak pernah berhenti mengupayakan
berkurangnya ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya. Semoga
kita tetap bisa melestarikan kepedulian terhadap sejarah dan kenangan masa
lalu. Karena dengan begitu kita pun telah melestarikan hidup dan
kehidupan.